
Epilepsi katamenial merupakan suatu penyakit yang kerap dialami oleh para perempuan, bisa terjadi salah satunya pada masa kehamilan. Epilepsi berupa gangguan otak kronis yang dapat menyebabkan kejang.
Kepala medis regional dan spesialis kesuburan Oasis Fertility, Dr. Parinaaz Parhar mengatakan kejang pada epilepsi katamenial dipengaruhi oleh fluktuasi hormonal dan perubahan dalam siklus menstruasi yang terjadi selama masa pubertas, kehamilan, dan menopause.
“Fluktuasi kadar hormon, terutama dalam produksi estrogen dan progesteron, sepanjang siklus dapat memengaruhi frekuensi dan tingkat keparahan kejang,” kata Dr. Parinaaz, dilansir laporan Hindustan Times.
Menurut Dr. Parinaaz Parhar, perempuan dengan epilepsi katamenial dapat memiliki kehamilan yang sehat, tetapi perlu pemantauan yang cermat, seperti berkonsultasi dengan dokter.
“Kejang yang berhubungan dengan kehamilan dapat membahayakan perkembangan janin dan ibu. Beberapa obat anti-epilepsi juga dapat meningkatkan risiko cacat lahir. Oleh karena itu, pemantauan dan penyesuaian pengobatan yang cermat mungkin diperlukan selama kehamilan,” ujarnya.
Dia menjelaskan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati epilepsi dapat berdampak langsung pada kesuburan, meskipun epilepsi katamenial itu sendiri tidak secara langsung menyebabkan infertilitas pada perempuan. “Ovulasi dan kesuburan dapat dipengaruhi oleh obat-obatan yang mengubah kadar hormon seperti obat anti-epilepsi (AEDs),” ucapnya.
“Perempuan yang memiliki epilepsi katamenial lebih mungkin mengalami infertilitas karena penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi termasuk Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS),” lanjutnya.
Lebih lanjut, Dr. Parinaaz menambahkan selain berkonsultasi dengan ahli medis, penting untuk menjaga pola hidup sehat guna mengelola gejala epilepsi. “Ini termasuk mengikuti pola makan seimbang, melakukan olahraga teratur, dan mengelola stres. Dengan pola hidup yang seimbang dan manajemen pengobatan yang tepat sesuai anjuran dokter, perempuan dengan epilepsi katamenial dapat menjalani kehamilan yang sehat dan memiliki anak yang sehat,” jelasnya.
Risiko anak epilepsi
Para peneliti mendapati anak-anak yang lahir dari perempuan yang mengalami tekanan psikologis selama kehamilan memiliki risiko lebih tinggi mengalami epilepsi pada masa kanak-kanak.
Hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS ONE menunjukkan bahwa risiko epilepsi meningkat hingga 70 persen di antara anak-anak berusia satu hingga tahun tahun ketika ibu mereka mengalami tekanan psikologis terus-menerus selama kehamilan.
Studi itu didasarkan pada analisis hasil studi kohor kelahiran yang melibatkan hampir 100.000 peserta. Dalam studi tersebut, para peneliti menganalisis hubungan antara skor stres pada ibu hamil dan risiko epilepsi pada anak-anak mereka.
Dengan menggunakan Skala Distres Psikologis Kessler (K6), para peneliti mengevaluasi stres peserta studi dua kali selama kehamilan, yakni sekali pada paruh pertama atau sekitar 15 minggu usia kehamilan dan sekali lagi pada paruh kedua atau sekitar 30 minggu usia kehamilan. Berdasarkan skor K6 mereka, peserta dikategorikan dalam enam kelompok, yang mencerminkan distres rendah atau sedang pada setiap titik waktu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa skor K6 ibu sebesar 5 atau lebih tinggi pada kedua titik waktu berkaitan dengan risiko diagnosis epilepsi 70 persen lebih tinggi di antara anak-anak berusia satu hingga tiga tahun. “Oleh karena itu, penyesuaian lingkungan untuk meningkatkan relaksasi pada ibu hamil diperlukan untuk mencegah perkembangan epilepsi pada keturunan mereka,” kata para peneliti dalam publikasi hasil studi.
Para peneliti menyarankan terapi relaksasi seperti yoga, musik, terapi Benson, relaksasi otot progresif, relaksasi napas dalam, dan hipnosis untuk mengurangi risiko stres dan kecemasan pada ibu hamil. Mereka berharap teknik-teknik untuk menurunkan stres ini juga dapat membantu mencegah timbulnya epilepsi pada keturunan.
Menurut informasi yang disiarkan di laman resmi Kementerian Kesehatan, epilepsi atau yang dikenal dengan sebutan ayan adalah penyakit kronis yang terjadi karena adanya gangguan sistem saraf pusat. Epilepsi, yang utamanya ditandai dengan gejala kejang kambuhan, merupakan penyakit yang umum terjadi dan bisa menyerang orang dengan segala usia, dari bayi sampai orang dewasa. Epilepsi ada yang disebabkan oleh faktor keturunan atau faktor lain seperti gangguan perkembangan, cedera otak, dan gangguan autoimun.
Menolong penderita epilepsi
Dokter spesialis neurologi dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON) Prof Dr. dr. Mahar Mardjono, Chairunnisa mengatakan hal utama yang perlu dilakukan ketika menemukan dan menolong seseorang yang terkena serangan epilepsi adalah tidak panik. Apabila panik, kata dia, maka yang akan menolong penderita tersebut justru tidak dapat berpikir. Yang kedua, lanjut dia, memastikan penderita diletakkan di tempat yang aman ketika epilepsi terjadi.
“Yang paling penting adalah jangan pernah memasukkan apapun ke dalam mulut pasien,” ujar Chairunnisa.
Dia mengatakan banyak orang yang memasukkan benda ke dalam mulut penderita, misalnya sapu tangan, baju, sendok, guna mencegah agar lidahnya tidak tertelan atau tergigit. Padahal jika melakukan itu, maka ada risiko penderita dapat tersedak.
Menurutnya, justru saat epilepsi tersebut penderitanya membutuhkan oksigen ke otak, karena ada gangguan pada otaknya saat itu. Sehingga, kata dia, perlu ada jalur untuk bernafas yang lebih baik. “Jangan memasukkan apapun. Biarkan sampai serangannya atau pasien yang kejang itu selesai,” ucapnya.
Setelah itu, kata dia, perlu diperhatikan situasi saat epilepsi terjadi. Apabila ada makanan atau minuman yang berisiko membuat penderita tersedak, posisi tubuh penderita perlu dimiringkan hingga kejangnya selesai, kemudian meminta pertolongan dan membawa ke rumah sakit terdekat. Menurutnya, apabila menemukan dan menolong orang yang kejang perlu didokumentasikan, seperti melalui video, agar dokter yang memeriksa dapat mendeteksi gejala epilepsi pada kejadian tersebut, mengingat banyak sekali tanda-tanda epilepsi.
Dalam kesempatan itu ia menjelaskan sejumlah tanda epilepsi. Selama ini,orang sering mengira bahwa orang yang epilepsi sedang kesurupan dan hanya mengetahui mulut berbusa sebagai salah satu tandanya.
Melamun dan nyeri kepala terutama yang dialami selama bertahun-tahun, kata dia, dapat menjadi tanda-tanda epilepsi. Selain itu juga gerakan-gerakan tertentu yang tidak berhenti-henti. Bagi penderitanya, lanjut dia, biasanya terdapat sensasi-sensasi tertentu yang disebut sebagai aura, yang terjadi beberapa detik atau menit sebelum epilepsi. Dia menyebut bahwa sensasi tersebut menyerang audio maupun visual penderita tersebut dan kerap menimbulkan fenomena deja vu atau jamais vu.
Deja vu adalah ketika seseorang merasa yang dialami sekarang pernah juga dialami di masa lalu. Sementara itu jamais vu adalah ketika seseorang tidak mengenali hal yang familiar dengan dirinya. “Atau yang paling sering lagi disebut dengan epigastric discomfort. Jadi pasiennya merasa ada sensasi yang tidak nyaman. Dari mulut, hati, terus naik ke atas, seperti muntah gitu ya. Itu juga merupakan salah satu aura yang paling sering juga bisa jadi bagian dari epilepsi,” katanya. (RN)