![Ini Terobosan Atas Hipertiroid Dengan Minim Bedah 1 Ini Terobosan Atas Hipertiroid Dengan Minim Bedah](https://www.kanopiinsansejahtera.co.id/wp-content/uploads/2024/12/Foto-003-_-UMUM-November-2024.www_.kompas.com_-300x200.jpg)
Hipertiroid Dengan Minim Bedah
Prosedur Radio Frequency Ablation (RFA) untuk pengobatan pembesaran kelenjar tiroid (hipertiroid) memungkinkan pasien menjalani perawatan tiroid tanpa operasi besar dengan hasil optimal, demikian kata pakar. “RFA memungkinkan pasien menjalani perawatan tiroid tanpa operasi besar dan obat seumur hidup, memberikan hasil optimal dengan minim risiko,” kata dr Rochsismandoko, Sp.PD, KEMD, FINASIM, FACE.
Masalah tiroid adalah kondisi kesehatan yang sering kali diabaikan, meski dampaknya dapat signifikan pada metabolisme tubuh. Salah satu gangguan tiroid yang perlu diperhatikan adalah hipertiroid, kondisi di mana tubuh memproduksi terlalu banyak hormon tiroid. Hipertiroid bisa memicu berbagai gejala seperti jantung berdebar, gemetar, penurunan berat badan meskipun nafsu makan meningkat, hingga gangguan tidur dan cemas berlebihan, ujarnya. “Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup dan produktivitas secara drastis,” ujarnya.
Selama ini, pengobatan untuk masalah tiroid, terutama pembesaran kelenjar tiroid jinak, kerap diidentikkan dengan operasi dan risiko komplikasi yang menyertainya. Namun, kemajuan teknologi kedokteran telah menghadirkan solusi baru yang lebih nyaman dan minim risiko, yaitu prosedur RFA. RFA adalah metode non-operatif yang menggunakan energi termal untuk mengecilkan atau bahkan menghilangkan nodul pada kelenjar tiroid. Lebih lanjut dikatakannya dengan bantuan panduan ultrasonografi, elektroda kecil dimasukkan ke dalam area nodul untuk memanaskan jaringan hingga rusak, tanpa memerlukan sayatan besar. Prosedur ini biasanya berlangsung hanya sekitar 30 menit hingga satu jam, tanpa rasa sakit yang berarti, baik saat tindakan maupun setelahnya.
Menurut dr Rochsismandoko yang merupakan seorang dokter spesialis endokrin dari Bethsaida Hospital, metode ini tidak hanya memberikan kenyamanan bagi pasien, tetapi juga mengurangi beban biaya dibandingkan operasi konvensional. Pasien yang menjalani prosedur RFA hanya perlu menjalani observasi singkat, biasanya 10-12 jam, sebelum diperbolehkan pulang. Tidak ada bekas luka yang mengganggu, sehingga metode ini menjadi pilihan ideal bagi mereka yang menginginkan solusi efektif tanpa intervensi bedah.
Kesadaran untuk mendeteksi gangguan tiroid sejak dini sangat penting, mengingat gejalanya sering kali tidak spesifik. Dengan pilihan pengobatan modern seperti RFA, pasien tidak hanya mendapatkan penanganan yang efektif tetapi juga kualitas hidup yang lebih baik. “Semakin cepat diagnosis ditegakkan, semakin besar peluang untuk menghindari komplikasi serius,” tambah dr Rochsismandoko.
Gangguan tiroid bukan lagi ancaman yang harus ditakuti, asalkan ditangani dengan metode yang tepat. Prosedur RFA hadir sebagai bukti bahwa teknologi kedokteran terus berkembang untuk mendukung kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Dokter Spesialis Bedah Onkologi Divisi Onkologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Dr. dr. Diani Kartini, SpB(K)Onk menjelaskan pentingnya kelenjar tiroid bagi tubuh dan kondisi-kondisi tertentu saat kelenjar tiroid memerlukan pembedahan.
“Kelenjar tiroid ini bisa memerlukan pengobatan itu ada beberapa keadaan, misalnya pembesaran kelenjar tiroid. Salah satunya, orang awam menyebutnya ‘gondok’ atau pembesaran kelenjar tiroid,” kata Diani. Kelenjar tiroid itu suatu kelenjar yang berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak di leher (ada dua). Kelenjar tiroid berfungsi untuk metabolisme tubuh, pertumbuhan dan perkembangan tubuh dan menjaga kesehatan jantung. Ada sejumlah kondisi saat kelenjar tiroid membutuhkan pembedahan, misalnya, pembesaran kelenjar tiroid, kelainan pada kelenjar tiroid, dan lainnya.
Kelainan pada kelenjar tiroid antara lain adalah hipertiroid dan hipotiroid. Kondisi hipertiroid terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan terlalu banyak hormon tiroid dan sebaliknya, hipotiroid ketika kondisi ketika kelenjar tiroid tidak menghasilkan hormon tiroid yang cukup. Kondisi di atas dapat disertai dengan sejumlah gejala, seperti hipertiroid yang membuat seseorang lebih banyak berkeringat, jantung berdebar-debar, mata melotot atau membesar, dan lainnya. Berlawanan dengan hipertiroid, kondisi hipotiroid biasanya memiliki gejala dengan badan terasa lemah, sulit buang air besar, dan lainnya. “Rata-rata, pasien datang ke dokter dengan keluhan benjolan di leher, tetapi, kita harus cari tahu dulu apakah betul itu karena kelenjar tiroid yang membesar. Kalau saat menelan benjolannya bergerak, kemungkinan itu benar karena masalah pada kelenjar tiroid,” kata Diani.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat menjadi indikasi dari suatu penyakit, antara lain gangguan hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid, penyakit autoimun, tumor, hingga kanker. Dokter akan mengadakan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan penyakit tersebut. Jika benjolan pada kelenjar tiroid terindikasi kanker, dikhawatirkan sel kanker akan menyebar ke kelenjar getah bening atau area tubuh lainnya. Oleh sebab itu, dokter akan memeriksa lebih lanjut pasien dengan metode biopsi untuk mengetahui benjolan itu termasuk jinak atau ganas.
Jika hasil pemeriksaan sudah diketahui, dokter akan mengambil tindakan dengan operasi pengangkatan kedua kelenjar tiroid (kelenjar tiroid di lobus kanan dan kiri), atau hanya pengangkatan sebagian kelenjar tiroid. “Ada kondisi-kondisi yang harus dipenuhi. Misalnya, kalau pasien masuk ke dalam golongan risiko rendah, maka akan dilakukan pemotongan (kelenjar tiroid) di satu sisi saja,” kata Diani.
Ketika pasien termasuk risiko tinggi, dokter akan melakukan pembedahan di kedua lobus kelenjar tiroid. Setelah proses pengangkatan kelenjar tiroid selesai, pasien harus istirahat, rajin mengontrol diri mereka ke dokter, dan meminum obat yang diberikan agar kondisi tubuh dapat segera pulih.
Wanita rentan
Pakar bedah onkologi dr I Gusti N Gunawan W, Sp. B-Onk menuturkan masalah tiroid seperti benjolan pada leher lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria salah satunya karena dipengaruhi oleh hormon estrogen. Benjolan pada di leher akibat masalah pada kelenjar tiroid biasanya berada di tengah, akan bergerak ke atas saat pasien menelan dan belum tentu mengarah pada keganasan atau kanker.
Namun, sambung Gunawan, apabila benjolan pada leher akibat tiroid terjadi pada usia-usia ekstrem misalnya di atas 50 tahun atau di bawah 20 tahun maka ini bisa merupakan faktor risiko keganasan. “Atau kalau terjadi pada laki-laki. Jadi memang lebih banyak terjadi pada wanita. Tapi, kalau sampai terjadi pada laki-laki akan meningkatkan risiko itu cenderung ke arah keganasan walau tetap harus dibuktikan,” kata dia.
Berbicara lebih lanjut mengenai kecurigaan pada keganasan atau kanker tiroid, Gunawan menyebutkan sejumlah faktor risiko lain seperti riwayat keluarga, riwayat penyinaran jangka panjang di leher terutama bila benjolannya tumbuh cepat disertai suara serak, sesak, sulit menelan, ada sumbatan jalan napas atau sudah pernah diobati dengan obat-obatan tapi tetap membesar. Menurut dia, dokter nantinya akan melakukan pemeriksaan pada benjolan di leher pasien, seperti pemeriksaan fisik salah satunya untuk mengetahui keras atau tidaknya benjolan tersebut.
“Kalau nodulnya (benjolan) teraba keras, ada kelenjar getah bening yang menyertai, kemudian kalau nodulnya berbenjol-benjol, letaknya di tengah itu meningkatkan risiko keganasan,” kata lulusan Universitas Indonesia itu.
Selain pemeriksaan fisik, dokter bisa meminta pasien menjalani pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar hormon tiroid dan lainnya, disertai pemeriksaan penunjang seperti USG tiroid. USG tiroid dilakukan mengingat keterbatasan pemeriksaan fisik yang tidak bisa mengetahui ada atau tidaknya benjolan di sisi belakang leher sekaligus untuk memberikan arah diagnostik apakah benjolan yang ada jinak atau ganas. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan termasuk CT-scan, MRI pada kasus-kasus dengan kecurigaan nodul sudah keluar dari bungkus kelenjar tiroidnya, misalnya sudah mengenai trakea atau saraf.
“(Bisa juga) rontgen toraks untuk mencari kemungkinan penyebaran ke paru, endoskopi pita suara untuk melihat gerakan pita suara biasanya untuk data sebelum dan sesudah operasi,” sebut Gunawan.
Tak disadari
Sementara itu, dokter bedah onkologi di RS Royal Mandaya Hospital, dr. Arif Kurniawan, Sp.B(K)Onk mengatakan bahwa gangguan pada kelenjar tiroid kerap tak disadari oleh para pasien. “Tetapi oleh orang-orang di sekitarnya yang melihat perubahan tersebut ataupun terdeteksi karena adanya pengecekan yang tidak sengaja melalui Ultrasonografi (USG),” kata dr. Arif. Oleh sebab itu deteksi dini dan kesadaran masyarakat terhadap kanker tiroid ini perlu ditingkatkan agar masyarakat bisa mendapatkan penanganan lebih dini. Selain dari pendeteksian dini, pengobatan dan penatalaksanaan pada pasien pun harus tepat, katanya.
Dokter Eko Purnomo, Sp.KN-TM(K) ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia (PKNI) menjelaskan bahwa proses pengobatan kanker tiroid selain dilakukan melalui pembedahan dilanjutkan dengan metode ablasi yaitu pembersihan sisa pembedahan dengan metode terapi nuklir. “Biasanya masyarakat khawatir ketika mendengar kata nuklir, tetapi sebenarnya tidak perlu khawatir karena terapi nuklir ini bukan ditembakkan tetapi metode ini merupakan metode terapi yang dilakukan dengan melalui sistem oral (diminum), sehingga pasien tidak perlu diinfus ataupun disuntik,” kata dia.
Namun demikian, ketika kondisi kanker ini mengalami refrakter (tidak mempan dengan ablasi), prinsip dan metode terapi harus diubah melalui metode sistemik, yaitu metode kemoterapi atau metode terbaru terapi target. “Terapi target dilakukan dengan cara pasien mengonsumsi obat melalui oral,” ujar Eko.
Menurut GLOBOCAN tahun 2020, kanker tiroid menempati urutan ke-12 dengan kasus kanker terbanyak yaitu mencapai 13.1141. Kasus kanker tiroid ini 2-3 kali lebih berisiko pada pasien wanita dibandingkan pria. (RN)