Penurunan Fungsi Ginjal Dipengaruhi Kondisi Kesehatan Kronis

Artikel ini telah direview oleh
Penurunan Fungsi Ginjal Dipengaruhi Kondisi Kesehatan Kronis
Foto: kompas.com

Ternyata, kondisi kesehatan kronis berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal pada usia yang lebih tua. Hal tersebut merupakan hasil studi yang dipublikasikan di Journal of the American Geriatrics Society (AGS).

Studi yang hasilnya disiarkan pada 17 Desember 2024 tersebut melibatkan sebanyak 3.094 individu diikuti selama 15 tahun dalam Studi Nasional Swedia tentang penuaan dan perawatan di Kungsholmen. Peserta studi rata-rata berusia 73,9 tahun, dan 87 persen di antaranya memiliki multimorbiditas atau berbagai kondisi kesehatan kronis.

Para peneliti mengumpulkan informasi medis terperinci dengan melakukan pemeriksaan fisik, riwayat medis, dan catatan kesehatan lain.

Mereka juga meminta peserta penelitian secara rutin menjalani pemeriksaan fungsi ginjal melalui tes darah untuk mengetahui estimasi laju filtrasi glomerulus (estimated glomerular filtration rate/eGFR).

Berdasarkan hasil studi, para peneliti menyimpulkan bahwa multimorbiditas sangat berkaitan dengan percepatan penurunan fungsi ginjal pada usia yang lebih tua. Menurut hasil studi, individu dengan multimorbiditas kardiometabolik seperti masalah jantung dan diabetes menunjukkan peningkatan risiko yang sangat tinggi.

Hasil studi menunjukkan kelompok individu tersebut mengalami penurunan fungsi ginjal paling signifikan, dengan laju filtrasi ginjal menurun hampir tiga setengah kali lebih cepat dibandingkan kelompok dengan risiko terendah. Hasil studi juga menunjukkan bahwa kombinasi masalah kesehatan tertentu dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal lebih cepat dibandingkan kombinasi lainnya.

Para peneliti menyampaikan bahwa peningkatan pemantauan dan intervensi tepat waktu dapat menjaga fungsi ginjal dan mengurangi risiko kardiovaskular pada individu yang menunjukkan kondisi multimorbiditas berisiko tinggi. “Temuan kami menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh yang tidak hanya mempertimbangkan beban penyakit kronis secara keseluruhan, tetapi juga interaksi kompleks antara penyakit-penyakit tersebut saat mengevaluasi risiko penurunan fungsi ginjal pada lansia,” kata Giorgi Beridze, salah satu penulis hasil studi.

“Individu dengan pola multimorbiditas berisiko tinggi dapat memperoleh manfaat khusus dari pemantauan fungsi ginjal yang lebih sering, promosi gaya hidup sehat, dan intervensi farmakologis yang tepat waktu,” jelasnya.

Temuan dalam studi tersebut menggarisbawahi pentingnya pemantauan kesehatan ginjal pada orang lanjut usia dengan beberapa kondisi kesehatan kronis.

Ginjal sehat

Sementara itu, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Prof Dr dr Endang Susalit, Sp.PD, KGEH mengatakan cara memastikan ginjal sehat dengan melakukan pemeriksaan urine dan kadar kreatinin dalam darah. “Ambil darah atau dengan pemeriksaan urine, ada protein yang bocor, diperiksa melalui mikroskop melihat zat-zat yang seharusnya tidak ada seperti sel darah merah,” urainya..

Endang yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia itu menuturkan, bila kadar kreatinin dalam darah normal, kemudian tak ditemukan zat bukan seharusnya di urine, maka ginjal dapat dikatakan normal.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), pemeriksaan darah dilakukan untuk memastikan fungsi ginjal berjalan baik. Tes darah kreatinin serum mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Jika ginjal seseorang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka kadar kreatinin serum naik.

Tingkat normal pada seseorang akan bergantung pada jenis kelamin, usia, dan jumlah massa otot yang dimiliki tubuhnya. Selain tes darah kreatinin, ada juga pemeriksaan filtrasi glomerulus (GFR) untuk melihat seberapa baik ginjal membuang limbah, racun, dan cairan ekstra dari darah.

Baca juga:  Hindari Anak Makan Junk Food Ini Strateginya

Di sisi lain, ada juga pemeriksaan urine dilakukan untuk mencari albumin atau protein yang diproduksi hati dalam urine. Salah satu tanda awal penyakit ginjal yakni ketika protein bocor ke dalam urine atau disebut proteinuria. Menurut CDC, orang-orang dengan diabetes termasuk yang berisiko lebih tinggi terkena penyakit ginjal kronik sehingga dokter umumnya merekomendasikan mereka melakukan pemeriksaan fungsi ginjal. Ini merupakan suatu kondisi ginjal menjadi rusak dari waktu ke waktu dan tidak dapat menyaring darah sebagaimana mestinya.

Endang mengatakan penyakit ginjal kronik saat ini menjadi masalah kesehatan di Indonesia dengan angka prevalensi sekitar 10 persen pada orang dewasa. Menurut dia, kondisi ini bila tidak dapat diatasi dengan pengobatan dan diet rendah protein akan berakhir dengan gagal ginjal yang menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien yang pada umumnya memerlukan pengobatan pengganti ginjal, yaitu dialisis atau transplantasi ginjal.

“Dapat dikatakan bahwa transplantasi ginjal merupakan terapi gagal ginjal paling ideal karena bisa mengatasi permasalahan akibat penurunan fungsi ginjal, tidak seperti dialisis yang hanya dapat mengatasi sebagian masalah saja,” demikian kata dia.

Ekosistem sehat

Pada bagian lain, Dokter Spesialis Urologi Mataram, dr Pebrian Jauhari menegaskan, bahwa dibalik ginjal yang sehat terdapat tubuh yang kuat serta memiliki ekosistem yang sehat. “Terjadi beberapa gangguan metabolisme pada tubuh dikarenakan kurangnya perhatian masyarakat pada metabolisme tubuh yang juga mendukung proses ekskresi pada tubuh,” imbuhnya.

Ia mengatakan, Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) mendefinisikan batu saluran kemih sebagai pembentukan batu di saluran kemih yang dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab dan gejalanya. Batu saluran kemih atau dalam bahasa ilmiahnya urolithiasis menghambat peredaran yang berasal dari ginjal hingga uretra. “Terdapat Etiologi pada batu saluran kemih, antara lain gangguan saluran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan idiopatik,” bebernya.

Etiologinya juga memiliki faktor risiko herediter yang dapat terdiagnosis pada rentan usia 30 – 50 tahun dan dengan perbandingan risiko 3:1 antara laki-laki dan perempuan.

Berbeda dengan teori inhibitor yang mengatakan bahwa terbentuk atau tidaknya batu yang ada di dalam batu kemih ditentukan oleh keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor yang dapat terhambat dan mengganggu turun laju reaksi. “Teori Inhibitor antara lain batu ginjal, batu ureter dan batu buli,” serunya.

Adapun tatalaksana medis dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan melakukan pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologi, tindakan ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) dan PCNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy). “Tatalaksana yang dilakukan untuk menurunkan rasa nyeri dengan melakukan terapi konservatif ataupun ekspulsif medikamentosa, ESWL, Endourologi dan Pembedahan,” sebutnya.

Ia mengatakan, data angka menunjukkan angka rata rata kekambuhan adalah 7 persen atau kurang lebih 50 persen pada kurun waktu 10 tahun terakhir. Adapun untuk pencegahan dengan menghindari dehidrasi dan memenuhi kebutuhan air putih harian 2-3 liter, melakukan diet rendah protein, oksalat, garam dan purin. “Melakukan medikamentosa pada pengidap yaitu dengan terapi sebagai pengobatan atau minum obat secara oral, pil, kapsul, suntik hingga infus,” tukasnya.

Baca juga:  101 Resep Hidup Baru di Tahun Baru

Menimpa anak-anak

Dokter Spesialis Urologi Siloam Hospitals Surabaya dr. Dian Paramita Oktaviani Soetojo, SpU meminta masyarakat mewaspadai penyakit batu ginjal yang tidak hanya terjadi pada orang dewasa, melainkan juga anak-anak dan remaja. Dia mengatakan, keberadaan batu pada saluran kemih di Indonesia merupakan kasus atau keluhan terbanyak di bidang urologi. Umumnya batu ginjal terjadi pada masyarakat berusia 30 hingga 50 tahun. “Tapi tidak menutup kemungkinan batu saluran kemih ini dapat terjadi pada anak-anak, remaja maupun orang tua,” kata Dian.

Menurut dia, secara pengetahuan umum medis, pada hakikatnya, batu pada saluran kemih adalah batu yang berada di saluran kemih baik itu di ginjal, ureter, kandung kemih maupun uretra (sistem saluran kemih manusia). Zat garam dan mineral lain yang menempel membentuk seperti batu ukuran kecil atau kerikil dan belum menimbulkan rasa sakit ketika tetap atau masih berada di ginjal. “Namun, apabila batu makin membesar akan menyebabkan nyeri yang amat sangat bahkan dapat menghalangi aliran urine sehingga menimbulkan sumbatan di saluran kemih ureter,” ujar dia.

Dia menjelaskan faktor risiko batu ginjal disebabkan oleh adanya riwayat terkena batu sebelumnya, riwayat keturunan, obesitas, dan gangguan absorpsi di lambung dan lainnya. Faktor lainnya yang patut diwaspadai adalah seringnya mengalami dehidrasi (kurang minum), hingga faktor riwayat pola makan yang dinyatakan sebagai prediposisi antara lain asupan kalsium, penggunaan garam yang tinggi, serta makan-makanan yang tinggi purin (jeroan), dan minum minuman yang mengandung ‘black tea’ dan soda.

Adapun tanda atau gejala penyakit ini antara lain nyeri di pinggang ringan hingga berat, kadang disertai mual-muntah, nyeri pada saat buang air kecil, urine berwarna keruh, coklat hingga kemerahan, bahkan buang air kecil dalam jumlah sedikit. Penanganan awal yang perlu dilakukan, kata dia, tes darah maupun urine, pemeriksaan radiologi seperti USG, rontgen perut, sampai CT scan urogenital (CT Stonografi), kemudian setelah batu terdeteksi nantinya batu akan dilihat berdasarkan ukuran dan letak, sehingga batu bisa dikeluarkan sesegera mungkin, baik melalui obat-obatan, perubahan gaya hidup maupun operasi.

Tindakan yang dapat dilakukan yaitu dengan operasi minimal invasive, dengan alat khusus, batu akan dipecah menjadi pecahan ukuran kecil, dan dapat keluar sendiri bersama urine atau dibantu dikeluarkan dengan alat tersebut.

Selain dengan tindakan operasi, lanjut dia, pemecahan batu juga dapat dilakukan dengan alat ESWL (extracoporeal shock wave lithotripsy), yaitu batu dipecah menggunakan gelombang khusus dari alat tersebut, dan pasien tidak perlu dilakukan pembiusan. Adapun batu ginjal dengan ukuran <5mm diharapkan akan keluar dengan sendirinya, pasien diharapkan dapat minum air putih 2,5-3 liter sehari dan olahraga rutin atau mungkin dapat dibantu dengan obat-obat asalkan tidak ada penyumbatan atau penyempitan di sepanjang saluran kemih.

“Pastikan kebutuhan cairan tercukupi, kurangi konsumsi makanan yang mengandung oksalat (bayam, kacang, black tea). Kurangi juga asupan protein hewani, diet rendah garam dan yang penting makan makanan dengan gizi seimbang dan olahraga yang rutin untuk mengurangi bahkan menghindari keluhan batu pada saluran kemih,” pungkasnya. (RN)

× Hubungi kami!