
Prosedur Transplantasi Ginjal
Penderita gagal ginjal membutuhkan inovasi medis dan terapi pengganti ginjal untuk membantu meningkatkan kualitas dan harapan hidup. Beberapa rumah sakit di Indonesia telah menerapkan metode laparoskopi intraperitoneal untuk pengambilan ginjal dari pendonor hidup dan tidak pernah lagi menggunakan metode konvensional operasi terbuka (dengan sayatan besar).
Metode laparoskopi intraperitoneal, yang hanya memerlukan sayatan kecil 1-2 cm sebanyak 3-4 garis dapat mengurangi risiko komplikasi mencederai organ vital di sekitar ginjal. “Pengembangan lebih lanjut sejak tahun 2020 dilakukan teknik laparoskopi retroperitoneal ini mengurangi risiko komplikasi karena tidak mengganggu organ-organ intra abdomen lain seperti saluran pencernaan dan pembuluh darah utama,” ujar Dokter Spesialis Urologi RS Siloam ASRI, Prof DR dr Nur Rasyid, Sp.U (K).
Pendonor yang menjalani prosedur itu merasakan pemulihan yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode operasi terbuka. Umumnya, mereka hanya membutuhkan waktu perawatan 2-3 hari kemudian bisa kembali beraktivitas normal dalam seminggu setelah operasi.
Untuk kondisi keterbatasan donor, kata dia, dilakukan teknik canggih operasi bedah mikro yang menggabungkan 2-3 pembuluh darah arteri ginjal. Hal tersebut memperpendek warm ischemik dan meningkatkan keberhasilan transplantasi. “Dengan penerapan inovasi-inovasi ini, RS Siloam ASRI dapat memberikan hasil yang lebih baik dan mengurangi risiko komplikasi pascaoperasi baik bagi pendonor maupun penerima,” tambah Prof Nur Rasyid.
Transplantasi pada anak
Sementara itu, dr. Ina Zarlina, Sp.A (K), salah satu dokter spesialis anak menyebutkan bahwa penyebab penyakit ginjal kronis (PGK) pada anak yang berujung pada kebutuhan transplantasi ginjal sering kali berbeda dibandingkan pada orang dewasa.
“Sekitar 30 persen kasus PGK pada anak disebabkan kelainan bawaan, seperti kelainan glomerulus yang memengaruhi fungsi ginjal. Ini termasuk gangguan genetik dan malformasi ginjal yang hadir sejak lahir. Selain itu, penyakit ginjal pada anak-anak juga sering kali berhubungan dengan infeksi atau gangguan metabolik yang belum terdeteksi sejak dini,” kata dr Ina.
Salah satu tantangan terbesar dalam transplantasi ginjal pada anak adalah pencarian pendonor yang cocok karena perlu menyesuaikan ukuran ginjal dan dosis imunosupresan yang cocok dengan kondisi tubuh anak yang masih berkembang. Selain itu, terapi pengganti ginjal seperti cuci darah (hemodialisis) atau Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) juga menjadi alternatif, meski tidak optimal dalam jangka panjang.
Transplantasi ginjal pada anak memerlukan alat yang disesuaikan dengan ukuran tubuh mereka, baik untuk hemodialisis maupun CAPD, sehingga menambah kompleksitas prosedur dan memerlukan perhatian khusus dari spesialis anak.
Penggunaan terapi pengganti ginjal harus dipertimbangkan dengan cermat karena berdampak pada tumbuh kembang anak. Setelah transplantasi, harapan utamanya anak-anak dapat beraktivitas tanpa batasan perawatan medis intensif.
Standar prosedur tinggi
Keberhasilan transplantasi ginjal didukung standar prosedur tinggi, protokol ketat untuk seleksi pendonor dan penerima ginjal, serta prosedur medis yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Keberhasilan transplantasi ginjal juga didukung kerja sama tim medis multidisiplin, termasuk dokter spesialis nefrologi, urologi, ahli anestesi, ahli radiologi, jantung, paru, perawat, ahli gizi, dan semua unsur.
Ada berbagai tantangan yang dihadapi, misalnya keterbatasan jumlah ginjal. Saat ini, jumlah pasien gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi ginjal sangat tinggi, sementara jumlah pendonor yang tersedia sangat terbatas.
“Menumbuhkan kesadaran dalam upaya mengatasi masalah donor ginjal yang terbatas, masyarakat perlu memahami tentang pentingnya donor ginjal dari jenazah, yang meskipun sudah diatur dalam undang-undang, masih kurang diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,” kata Dokter Spesialis Penyakit Dalam (Ginjal – Hipertensi) Prof. Dr. dr. Endang Susalit, Sp.PD-KGH, FINASIM.
Tantangan lainnya adalah risiko penolakan ginjal oleh tubuh penerima. Guna mengatasinya dengan tim ahli dalam mengelola pasien yang mengalami reaksi penolakan, dengan menggunakan obat imunosupresan dan pemantauan yang ketat untuk mencegah penolakan ginjal. Keberhasilan sebuah rumah sakit dalam transplantasi ginjal dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia, terutama dalam bidang transplantasi ginjal.
Lebih mudah
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan proses transpalansi organ di Indonesia menjadi lebih mudah berkat keberadaan Undang-undang Kesehatan yang disetujui oleh Komisi X DPR RI. “Dengan adanya regulasi ini, sekarang terbuka kesempatan untuk melakukan transpalansi di Indonesia,” ujarnya.
Budi mengungkapkan banyak warga Indonesia yang sakit dan harus mendapatkan penanganan transpalansi organ, namun layanan itu tidak bisa dilakukan di dalam negeri. Kementerian Kesehatan telah menunjuk 17 rumah sakit pemerintah untuk mengembangkan transpalansi organ, seperti ginjal, kornea, dan lain-lain.
“Undang-undang sudah diperbaiki, sehingga proses transpalansi organ menjadi lebih mudah,” kata Budi.
Kementerian Kesehatan sedang menggandeng berbagai pihak, termasuk organisasi keagamaan untuk melakukan sosialisasi perihal transpalansi. Menurut Budi, kolaborasi dengan organisasi agama penting agar pemahaman mendonorkan organ mendapatkan dukungan.
Saat ini obat-obatan terkait transpalansi belum lengkap di Indonesia. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan menjadikan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai rumah sakit pengampu untuk mendapatkan obat-obatan tersebut.
“Kami juga sudah menyusun 17 rumah sakit yang bisa transpalansi, yaitu mulai dari ambil organnya maupun memasukkan organnya,” kata Budi.
Pada bagian lain, Ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang, yang merupakan mantan pasien transplantasi ginjal menceritakan dirinya sempat berpikir untuk melakukan transpalansi ke luar negeri. Namun, saat itu dunia dilanda pandemi COVID-19, dan dia memutuskan melakukan transpalansi di Tanah Air.
Oesman melakukan transpalansi ginjal di RSCM dan memperoleh donor ginjal dari salah satu anggota keluarganya. Operasi itu berhasil dilakukan. “Dua bulan kemudian saya sudah seperti sekarang ini, sering lihat tidak muka saya kayak lebih muda dari yang dulu. Itu karena transpalansi ginjal,” ujarnya.
Oesman mengungkapkan Indonesia mempunyai banyak dokter spesial organ dalam yang kualitasnya tidak kalah dengan dokter-dokter rumah sakit di luar negeri. Dia mengimbau semua pasien yang membutuhkan transpalansi organ untuk berobat di dalam negeri. “Setelah saya melakukan (transpalansi) itu pada 4 Oktober 2021, luar biasa. Saya sampai menyesal, sempat berpikir tentang (operasi) ke luar negeri. Kualitas dokter-dokter kita tidak kalah,” ucap Oesman.
Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena. Menurut dia, kualitas hasil transplantasi di Indonesia merupakan salah satu yang terbaik.
Tidak serius
Ketua Perhimpunan Transplantasi Indonesia Dr. dr. Maruhum Bonar Hasiholan Marbun, SpPD-KGH mengatakan bahwa pasien gagal ginjal kebanyakan tidak serius dan mengacuhkan perawatan usai menjalani transplantasi ginjal. “Yang paling sulit itu pasien tidak pernah serius menanggapi dengan kondisi pasca transplantasi, hampir 60 persen seperti itu,” kata dia.
Maruhum menyebut bahwa pasien yang abai biasanya dikarenakan merasa kondisi kesehatannya telah membaik dari biasanya pasca transplantasi, sehingga tidak melakukan pengobatan secara teratur. Padahal, pengobatan pasien yang melakukan transplantasi ginjal adalah mutlak sepanjang hidup. Perawatan pasca transplantasi ginjal perlu dilakukan secara optimal, mengingat prosedur ini termasuk operasi yang cukup berat.
Selain itu, meski pasien transplantasi ginjal tidak perlu lagi menjalani hemodialisis atau cuci darah seumur hidup, pengobatan rutin diperlukan mengingat ada berbagai risiko fatal yang wajib diperhatikan. Risiko tersebut seperti infeksi pada perut, penurunan imun akibat obat imunosupresan, kemungkinan menurunnya fungsi ginjal akibat gaya hidup yang tidak sehat, dan yang terparah adalah kemungkinan penolakan ginjal.
“Artinya kan itu kan benda asing, ginjal yang dipasang itu bukan ginjal dia, masuk ke dalam tubuhnya. Nah tubuhnya itu kan beradaptasi, kalau tubuh menganggap dia benda asing dan kalau tidak ditekan dengan obat immunosupresen, akan terjadi penolakan,” jelas Maruhum.
Terdapat dua kategori penolakan ginjal, yakni penolakan akut dan kronik. Maruhum mengatakan, penolakan ginjal akut masih dapat ditangani dengan obat-obatan, namun penolakan ginjal kronik dapat menyebabkan hingga kematian. “Kalau kronik biasanya agak sulit diatasi, bukan hanya kembali lagi ke cuci darah, tapi meninggal dunia,” imbuhnya.
Adapun transplantasi ginjal merupakan prosedur penanganan gagal ginjal kronis, dokter akan mengangkat ginjal yang sudah rusak dan menggantinya dengan ginjal sehat dari pendonor. Donor ginjal didapatkan dari pendonor yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Umumnya donor hidup berasal dari anggota keluarga, hal tersebut lebih disarankan karena risiko penolakannya lebih kecil.
Namun, perlu diingat bahwa transplantasi ginjal bukanlah suatu pengobatan dimana pasca operasi pasien langsung sembuh dan terbebas. Artinya, kehidupan setelah transplantasi ginjal memerlukan perawatan atau konsumsi obat-obatan yang penting untuk keberlangsungan ginjal cangkok. “Pasien baru dapat dikatakan kondisinya stabil umumnya tiga bulan hingga satu tahun pasca transplantasi,” kata Maruhum. (RN)