Deteksi Dini Alzheimer Dengan Melihat Pola Pernapasan

Artikel ini telah direview oleh
Deteksi Dini Alzheimer Dengan Melihat Pola Pernapasan
Foto: rri.co.id (Deteksi Dini Alzheimer Dengan Melihat Pola Pernapasan)

Sebuah studi mengungkapkan bahwa pola pernapasan bisa menjadi tanda awal sebagai deteksi dini penyakit Alzheimer.

Hasil studi yang dirilis Brain Communications mengungkapkan hal tersebut. Dikatakan, penyakit Alzheimer dapat mempengaruhi kondisi yang berdampak pada memori dan fungsi kognitif.

Dalam studi tersebut para peneliti menyarankan bahwa laju pernapasan yang lebih tinggi bisa menjadi tanda awal Alzheimer yang dapat membantu mengidentifikasi penyakit ini sebelum gejala yang lebih jelas muncul.

Penelitian ini membandingkan kadar oksigenasi otak, denyut jantung, gelombang otak, dan upaya pernapasan dari 19 pasien Alzheimer dengan 20 orang tanpa Alzheimer. Hasilnya menunjukkan bahwa orang dengan penyakit Alzheimer bernapas sekitar 17 kali per menit sementara kelompok kontrol memiliki laju pernapasan 13 napas per menit.

Para peneliti menjelaskan bahwa neurodegenerasi akibat penyakit Alzheimer terkait dengan perubahan pola oksigenasi otak. “Alzheimer dapat diduga terjadi akibat otak tidak mendapat nutrisi yang cukup melalui pembuluh darah (sistem vaskular),” kata penulis utama Aneta Stefanovska.

“Sistem pembuluh darah dan otak bekerja sama untuk memastikan otak menerima energi yang cukup. Faktanya, otak membutuhkan sebanyak 20 persen dari keseluruhan konsumsi energi tubuh meskipun hanya menyumbang sekitar 2 persen dari berat tubuh,” kata Dr. Bernard Meglic, koordinator klinis penelitian tersebut.

Hal ini lantaran frekuensi pernapasan saat istirahat pada penderita Alzheimer secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami kondisi tersebut, temuan ini menunjukkan kemungkinan mendeteksi Alzheimer melalui teknik yang sederhana, non-invasif, dan murah.

Namun, laju pernapasan saja mungkin tidak cukup untuk mendiagnosis penyakit Alzheimer, karena banyak faktor lain yang dapat memengaruhi fungsi pernapasan seseorang, para peneliti percaya penemuan mereka dapat membuka pintu ke area baru dalam deteksi dini dan penelitian masa depan.

“Ini adalah penemuan menarik, menurut saya, penemuan revolusioner yang dapat membuka dunia baru dalam studi penyakit Alzheimer. Kemungkinan besar ini mencerminkan peradangan, mungkin di otak, yang jika terdeteksi mungkin dapat diobati dan kondisi Alzheimer yang parah dapat dicegah di masa mendatang,” Stefanovska menambahkan.

Kendalikan hipertensi

Penyakit hipertensi harus dikendalikan. Hipertensi yang tidak dikendalikan dengan penggunaan obat yang tepat dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan risiko alzheimer sebesar 42 persen.

Risiko penyakit Alzheimer lebih tinggi pada orang dewasa berusia 60 tahun atau lebih, ungkap sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Neurology. Salah satu peneliti Matthew J Lennon mengatakan penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa mengonsumsi obat tekanan darah dapat mengurangi risiko seseorang terkena demensia secara keseluruhan, tetapi sedikit yang diketahui tentang bagaimana tekanan darah memengaruhi risiko seseorang terkena penyakit Alzheimer.

Baca juga:  Apa itu Xanthelasma? Ini Penjelasannya

“Meta-analisis kami mengamati orang lanjut usia dan menemukan bahwa tidak mengobati tekanan darah justru dapat meningkatkan risiko seseorang,” katanya.

Para peneliti mengevaluasi 31.250 orang dari seluruh dunia selama empat tahun dengan usia rata-rata 72 tahun untuk melihat hubungan hipertensi dan alzheimer. Dari penelitian itu tercatat 9 persen dari peserta memiliki tekanan darah tinggi yang tidak diobati, 51 persen mengonsumsi obat tekanan darah, 36 perzeb tidak memiliki tekanan darah tinggi dan 4 persen tergolong tidak pasti. Setelah masa tindak lanjut, 1.415 orang mengalami penyakit Alzheimer.

Orang dengan tekanan darah tinggi yang tidak diobati memiliki risiko penyakit Alzheimer sebesar 36 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki tekanan darah tinggi. Sementara mereka juga memiliki risiko Alzheimer sebesar 42 persey lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dengan kondisi tersebut yang mengonsumsi obat tekanan darah.

“Hasil ini menunjukkan bahwa penanganan tekanan darah tinggi seiring bertambahnya usia seseorang terus menjadi faktor penting dalam mengurangi risiko penyakit Alzheimer,” kata Dr. Lennon.

Namun, karena definisi tekanan darah tinggi bervariasi di seluruh dunia, mungkin ada perbedaan dalam diagnosis yang dapat memengaruhi penelitian.

Prediksi risiko demensia

Sementara itu, para pakar China berhasil mengembangkan sebuah model prediksi risiko demensia baru yang dapat memprediksi demensia dalam waktu lima hingga sepuluh tahun, dan bahkan lebih lama lagi.

Berdasarkan UK Biobank (UKB), sebuah basis data biomedis skala besar, tim peneliti tersebut melakukan tindak lanjut terhadap 425.159 orang berusia 40-69 tahun yang bukan penderita demensia. Dalam median tindak lanjut selama 11,9 tahun tersebut, 5.287 dan 2.416 peserta masing-masing mengembangkan insiden demensia dan penyakit alzheimer.

Mereka menerapkan sebuah strategi berbasis data untuk mengidentifikasi para prediktor dari 366 kandidat variabel yang mencakup berbagai faktor genetik dan lingkungan yang komprehensif, menurut sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal EClinicalMedicine.

Para peneliti kemudian menggunakan algoritma pembelajaran mesin untuk mengalkulasi setiap prediktor untuk model prediksi demensia, memilih sepuluh prediktor teratas, dan membangun sebuah model prediksi risiko demensia baru yang disebut UKB-DRP.

Baca juga:  Awas, Konsumsi Kedelai Berlebih Picu Kanker Prostat

Sepuluh prediktor teratas termasuk usia, gen, waktu pencocokan pasangan, persentase lemak kaki, jumlah obat yang dikonsumsi, waktu reaksi, arus ekspirasi puncak (peak expiratory flow/PEF), usia ibu saat kematian, penyakit jangka panjang, dan volume korpuskular rata-rata (mean corpuscular volume/MCV).

Keunggulan model UKB-DRP ini adalah sepuluh prediktor dapat diperoleh dengan cepat dari survei kuesioner, pemeriksaan fisik sederhana, dan tes darah rutin, ungkap Yu Jintai, profesor di Rumah Sakit Huashan Universitas Fudan.

Lemak perut

Di sisi lain diketahui, memiliki lemak perut tidak hanya menimbulkan masalah estetika, tetapi juga memengaruhi kesehatan seseorang dengan meningkatkan risiko diabetes, stroke, serta penyakit jantung, dan yang terbaru, Alzheimer, penyebab paling umum dari demensia.

Studi baru di Washington University School of Medicine Amerika Serikat mengatakan, jumlah lemak perut viseral yang lebih tinggi pada usia paruh baya meningkatkan risiko penyakit Alzheimer.

Lemak viseral, yang terdapat di dalam rongga perut, berfungsi untuk melindungi organ di perut, seperti hati, pankreas, dan usus. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak, lemak tersebut bisa memicu perut buncit, bahkan menyebabkan gangguan kesehatan seperti tekanan darah tinggi, obesitas, kolesterol, dan resistensi insulin. Lemak viseral disimpan ketika seseorang makan terlalu banyak kalori dan kurang berolahraga.

Para peneliti menemukan hubungan antara lemak tersembunyi ini dan perubahan pada otak yang terkait dengan Alzheimer, yang dapat membantu memprediksi kondisi tersebut bahkan 15 tahun sebelum gejala awal muncul. Mereka mengevaluasi 54 partisipan yang sehat secara kognitif antara usia 40 hingga 60 tahun, dengan indeks massa tubuh rata-rata 32. Volume otak peserta diukur menggunakan MRI dan keberadaan amiloid dan tau (protein di otak yang terkait dengan Alzheimer) ditentukan dengan menggunakan pemindaian tomografi emisi posisi (PET).

Untuk mengidentifikasi risiko Alzheimer, para peneliti memperkirakan hubungan dengan faktor-faktor seperti indeks massa tubuh, obesitas, resistensi insulin, dan jaringan adiposa (lemak) perut. Penelitian ini juga menemukan hubungan antara lemak perut yang lebih tinggi dan peningkatan peradangan otak, yang dikaitkan dengan peningkatan risiko Alzheimer.

“Studi ini menyoroti mekanisme utama di mana lemak tersembunyi dapat meningkatkan risiko penyakit Alzheimer. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan otak tersebut terjadi sejak usia 50 tahun, rata-rata hingga 15 tahun sebelum gejala kehilangan memori paling awal dari Alzheimer terjadi,” kata peneliti Cyrus A. Raji. (RN)