(Foto: Antisipasi Gangguan Kejiwaan, Kenali Gejala Awalnya)
Mengenali gejala awal gangguan kejiwaan di tahap awal penting untuk mencegah kondisi yang lebih serius. Hal tersebut dikatakan oleh Psikolog Ayunda Ramdhani menjelaskan bahwa ada tiga aspek utama yang harus diperhatikan untuk mengenali gejala awal gangguan kejiwaan, yakni cara berpikir, perasaan atau emosi, dan perilaku seseorang.
Jika sudah merasakan tanda-tanda awal, masyarakat harus segera mencari bantuan agar gejala tersebut tidak semakin parah. Ayunda menekankan bahwa stigma negatif terhadap gangguan jiwa masih menjadi kendala besar dalam penanganan masalah kesehatan mental.
“Kita perlu memperhatikan bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan bertindak. Jika ada yang tidak seperti biasanya, itu bisa menjadi tanda awal gangguan kejiwaan,” jelasnya.
Contoh gejala yang perlu diwaspadai termasuk kecemasan berlebihan, pikiran negatif terus-menerus, ketakutan akan sesuatu yang belum atau sudah terjadi (overthinking), serta perubahan perilaku seperti menarik diri dari lingkungan, tidak mau bersosialisasi, dan penurunan produktivitas dalam pekerjaan atau pendidikan.
Selain orang dewasa, anak-anak juga rentan mengalami masalah kejiwaan. Oleh karena itu, orang tua harus peka terhadap perubahan perilaku anak. “Apabila anak mulai menunjukkan perilaku agresif, sering membolos tanpa alasan, atau mengeluh sakit saat mau ke sekolah, segera lakukan upaya preventif. Mungkin ada hal yang terjadi yang perlu ditangani dimulai dari orangtua,” tutur Ayunda.
Konsultasikan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dr. Ashwin Kandouw, Sp.KJ, mengimbau masyarakat untuk segera melakukan konsultasi kepada dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiatri) jika merasa mengalami ciri gangguan jiwa seperti skizofrenia dan gangguan bipolar (GB).
“Sangat penting untuk seorang penderita Skizofrenia maupun GB bisa cepat terdiagnosis dan mendapatkan penanganan medis yang tepat oleh personil medis yang kompeten. Selain itu, mendapatkan pengobatan terbaik dan termutakhir, menjalani pengobatan dengan teratur agar gejala bisa sebanyak-banyaknya terkendali dan sebisa mungkin tidak mengalami kekambuhan,” kata Ashwin.
Dia mengatakan skizofrenia merupakan gangguan mental berat yang bersifat kronis dan mempengaruhi pikiran perasaan dan perilaku penderita. Gangguan pikiran pada penderita bisa berupa kekacauan proses pikir yang terlihat melalui cara bicara yang kacau.
Isi pikiran pasien juga nampak sebagai waham yaitu keyakinan yang salah dan tidak sesuai dengan realita yang ada tetapi diyakini oleh penderita. Gangguan pun perasaan bisa berupa penumpulan emosi atau bahkan mood yang kacau. Sementara pada gangguan perilaku biasanya berupa perilaku yang kacau, bahkan bisa agresif.
Sering juga ada gangguan persepsi panca indera berupa halusinasi, yaitu adanya persepsi panca indera tanpa ada sumber rangsangnya. Sedangkan gangguan bipolar merupakan gangguan mood atau suasana perasaan. Penderita bipolar akan mengalami mood yang berubah-ubah secara ekstrim dari kutub manik ke kutub depresi dan juga sebaliknya.
Beberapa gejala yang muncul pada fase manik seperti rasa gembira dan rasa percaya diri yang berlebihan, banyak sekali ide yang datang secara bersamaan, merasakan peningkatan tenaga dan semangat yang berlebihan. Sedangkan pada fase depresi, gejalanya berupa rasa sedih yang berlebihan dan sulit dikendalikan, kesulitan mengambil keputusan, kecenderungan melukai diri sendiri bahkan ingin mengakhiri hidup.
Kedua gangguan jiwa itu, katanya, cukup berbeda namun punya beberapa kesamaan seperti mengalami gangguan keseimbangan kimia otak, bersifat kronis artinya perjalanan penyakitnya lama, bersifat kambuhan, artinya ada saat gejala bisa berkurang tapi juga ada saatnya bisa kambuh lagi.
“Semakin cepat penderita mendapatkan pertolongan medis yang tepat maka hasil pengobatannya juga akan jauh lebih baik. Sebaliknya, semakin lambat penderita mendapat pertolongan medis maka peluang untuk pulih pun semakin berkurang,” ujarnya.
Country Group Head Wellesta Indonesia Hanadi Setiarto menambahkan bahwa sangat penting meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terkait kondisi penyakit mental yang terkadang tidak disadari.
“Kami menyadari, jika tidak diatasi dengan baik, kejadian GB dan Skizofrenia akan terus bertambah sehingga ke depannya akan menurunkan kualitas hidup, peningkatan mortalitas dini, hingga berkontribusi pada penyakit fisik seperti kardiovaskular, metabolik, dan infeksi,” ujarnya.
Alami komplikasi
Dokter spesialis kesehatan jiwa Rumah Sakit Soeharto Heerdjan dr. Suharpudianto mengatakan bahwa orang dengan gangguan kepribadian narsisistik dapat mengalami komplikasi berupa gangguan kejiwaan, seperti depresi.
Siaran Kementerian Kesehatan berjudul ‘Bukan Sekadar Narsis! Kenali Gangguan Kepribadian Narsistik (Narcissistic Personality Disorder)’ dikatakan, hal tersebut adalah karena orang itu tidak selalu berada dalam lingkungan yang menyanjungnya dan membuatnya merasa paling penting.
“Juga karena relasinya yang buruk dengan orang lain, bisa akhirnya pasien merasakan suatu kondisi seperti kehilangan. Karena dia tidak memiliki pola relasi yang cukup stabil,” ujar Suharpudianto.
Selain depresi, ujarnya, orang dengan gangguan narsisistik juga dapat menyalahgunakan narkoba, sebagai respon maladaptif terhadap kondisinya yang sulit diterima oleh lingkungan sekitar.
Dia menyebutkan hal yang menarik adalah dengan gangguan kepribadian narsisistik tidak datang ke dokter untuk konsultasi mengenai gangguan itu, dan justru baru akan datang ketika mengalami gangguan lainnya, contohnya depresi.
“Karena biasanya gangguan kepribadian narsistik ini bersifat dalam terminologi medis kami adalah egosintonik. Yang artinya seseorang merasa nyaman saja dengan gangguan kepribadiannya ini, dia tidak merasakan gangguan kepribadiannya ini sebagai gangguan kepribadian. Meskipun sudah menimbulkan penderitaan bagi lingkungan sekitar,” katanya.
Dia menilai ketika penderita tersebut depresi, orang itu akan lebih mudah didekati untuk dibantu, karena mereka sudah kehilangan semangat. Namun, ujarnya, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan ketika ingin menolong mereka.
Menurut dokter itu, lebih baik apabila pada awalnya didekati orang yang cukup dekat oleh orang dengan gangguan narsisistik tersebut. Kemudian, sebagai orang dengan kepribadian yang lebih stabil, perlu menerima keadaan dan memberikan solusi yang positif. “Tidak apa-apa mengutarakan pendapat. Tetapi mungkin pendapatnya tidak bersifat judgemental. Tidak bersifat menghakimi. Lebih kepada kita bisa memvalidasi, memberikan pendapat bahwa kita mengerti kondisinya seperti itu,” katanya.
Dengan demikian, ujarnya, dapat dilakukan pendekatan yang lebih baik untuk membantu penderita tersebut memahami penderitaan mereka yang disebabkan gangguan itu, sehingga mereka mau bertemu dengan profesional.
Suharpudianto mengatakan ada sejumlah hal yang dapat dilakukan untuk menangani gangguan jiwa yang disebabkan gangguan kepribadian itu, antara lain farmakoterapi dan psikoterapi. Menurutnya, selain dengan disiplin mengikuti anjuran dokter mengenai pengobatan dan kontrol rutin yang teratur, lingkungan yang suportif juga penting dalam proses pemulihan penderita gangguan narsisistik dengan depresi itu.
“Setidaknya kalau mungkin Anda kesulitan memberikan kalimat-kalimat yang sifatnya memvalidasi atau mensupport, cukup menunjukkan bahasa tubuh yang tidak akan direspon dengan salah pengertian oleh seseorang ini yang sedang dalam terapi,” katanya. (RN)