Diabetes di Usia Muda Tingkatkan Risiko Demensia

Artikel ini telah direview oleh
Diabetes di Usia Muda Tingkatkan Risiko Demensia
Foto: allianzindonesia.com

Hasil studi terbaru yang dipublikasikan di PLOS ONE menunjukkan bahwa orang yang didiagnosis kena diabetes tipe 2 sebelum berusia 50 tahun dapat menghadapi peningkatan risiko demensia. Dalam sebuah studi, para peneliti menganalisis data dari Health and Retirement Study (2002-2016) yang melacak 1.213 orang dewasa berusia 50 tahun ke atas dengan diabetes tipe 2 di Amerika Serikat untuk memahami kaitan waktu awal diabetes tipe 2 dengan risiko demensia.

Dengan menggunakan hasil tes darah, para peneliti mengonfirmasi bahwa para peserta tidak mengalami demensia pada awal studi dan dalam waktu 14 tahun sebanyak 216 orang atau 17,8 persen dari peserta mengalami demensia. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa diagnosis diabetes lebih awal dapat meningkatkan risiko demensia.

Mereka yang didiagnosis mengalami diabetes tipe 2 sebelum berusia 50 tahun memiliki kemungkinan 1,9 kali lebih besar mengalami demensia dibandingkan dengan mereka yang didiagnosis pada usia 70 tahun atau lebih. Diagnosis diabetes tipe 2 pada usia 50 sampai 59 tahun dan 60 sampai 69 tahun dapat meningkatkan risiko demensia masing-masing 1,72 dan 1,7 kali.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa setiap tahun lebih awal seseorang didiagnosis dengan diabetes tipe 2, risiko mereka mengalami demensia meningkat 1,9 persen. “Studi kami menunjukkan bahwa mungkin ada konsekuensi kognitif pada diabetes tipe 2 yang muncul lebih awal, dan hal ini menunjukkan perlunya strategi untuk mencegah demensia yang mempertimbangkan diabetes dan obesitas,” kata Xiang Qi, penulis utama hasil studi itu.

Studi tersebut tidak mempelajari bagaimana waktu timbulnya diabetes meningkatkan risiko demensia, tetapi para peneliti menduga faktor seperti gula darah tinggi, resistensi insulin, dan peradangan dapat berkontribusi. Mereka juga mencatat bahwa obesitas meningkatkan risiko demensia pada kasus diabetes yang didiagnosis sebelum usia 50 tahun, yang menunjukkan bahwa itu dapat menjadi faktor penyebab lainnya.

Penulis senior hasil studi Bei Wu menyampaikan, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang yang didiagnosis diabetes tipe 2 pada usia paruh baya mungkin mengalami lebih banyak komplikasi vaskular, kontrol gula darah yang buruk, dan resistensi insulin, semuanya diketahui sebagai faktor risiko gangguan kognitif.

“Penelitian kami menyoroti pentingnya usia seseorang saat diagnosis diabetes dan menunjukkan bahwa menyasar obesitas secara khusus — baik melalui diet dan olahraga atau mungkin pengobatan — dapat berperan dalam mencegah demensia pada orang dewasa muda dengan diabetes,” kata Wu.

Baca juga:  Inilah 6 Tanda Awal Alzheimer yang Tidak Disadari

Perhatikan komplikasi

Kepala klinik edukasi diabetes RSUP Fatmawati dr. Ida Ayu Made Kshanti Sp.PD, KEMD mengatakan saat ini pengobatan pada pasien diabetes tidak hanya berfokus pada menurunkan gula darah tapi juga harus fokus pada pengobatan komplikasi lainnya.

“Saat ini fokus tatalaksana diabetes berubah jadi tidak hanya fokus gula darah tapi fokus pencegahan komplikasi terutama komplikasi kardiorenal, dan memperbaiki metabolik gula darah, berat badan dan obesitas,” kata Ida.

Ida mengatakan, pada pasien diabetes saat ini tidak hanya difokuskan pada pengobatan penurunan gula darah namun harus dilakukan assessment atau pengumpulan data yang menyeluruh agar pengobatan lebih spesifik.

Pengumpulan data tersebut meliputi edukasi diabetes untuk kemandirian pasien, aktivitas fisik atau olahraga yang cocok untuk dijalankan, menentukan secara detail tata laksana perencanaan makan, farmakoterapi dan obat-obatan self monitoring untuk gula darah. “Guideline baru assessment pasien lebih mendalam yang berhubungan perencanaan untuk menentukan pasien yang sesuai edukasinya apa dari aktivitas fisik, pola makan, obat, bagaimana pola GDP (gula darah puasa), jadi tidak ada pengobatan yang sama pada masing-masing individu,” jelasnya.

Asesmen mencakup apakah pasien memiliki faktor risiko ASCVD atau Atherosclerotic Cardiovascular Disease yang memungkinkan adanya gagal jantung yang dapat memperburuk keadaan diabetesnya. Selain itu pasien juga diperiksa status ginjal, hipoglikemi dan komplikasi yang mengarah ke saraf seperti mata dan hati.

Ida mengatakan dari data tersebut bisa ditentukan target terapi apa yang sesuai dengan keadaan dan penyakit penyerta pasien mulai dari mengontrol tekanan darah, gula darah, berat badan, aktivitas fisik dan lifestyle yang diharapkan untuk pasien. “Atau perlu melibatkan disiplin lain atau dipikirkan ke psikolog yang ahli pada perilaku,” tambahnya.

Pengobatan oral diabetes yang diberikan seperti metformin, obat diabetes tipe 2 SGLT2 juga harus diperhatikan efikasinya untuk menurunkan gula darah dan pengaruhnya pada hipoglikemi seorang pasien serta harus dipastikan aman untuk kardiovaskular dan ginjal.

Asesmen ini juga dilakukan untuk menekan angka kematian diabetes akibat komplikasi kardiorenal yang meliputi jantung dan ginjal. Ida juga mengatakan pengobatan pasien diabetes tidak hanya dilakukan oleh internis atau dokter penyakit dalam namun dibutuhkan kolaborasi dari disiplin lain untuk pengobatan diabetes yang semakin meningkat di Indonesia.

Baca juga:  Penyakit GERD Bisa Sebabkan Kanker Kerongkongan

Rekayasa sosial

Dokter dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dr. Tri Juli Edi Tarigan mengatakan, untuk menciptakan pola pikir sehat guna mencegah diabetes diperlukan sebuah rekayasa sosial, contohnya lingkungan yang mendorong orang untuk banyak bergerak tanpa disadari. “Ruang-ruang diperbanyak, jarak-jarak, tempat-tempat aktivitas dibuat sedemikian jauh, agak cukup jauh sehingga orang terpaksa untuk berjalan, terpaksa untuk bergerak dan sebagainya,” kata Tri.

Dia menjelaskan, hal ini dilakukan di negara-negara maju, sehingga penduduknya tidak sadar bahwa mereka juga tengah melakukan pencegahan obesitas, diabetes, karena rekayasa sosial yang diciptakan oleh regulator. Oleh karena itu, katanya, perlu ada upaya dari pemerintah, investor, serta pengembang properti dalam hal ini.

Terkait olahraga, dia menyebutkan bahwa kecintaan terhadap olahraga perlu dibangun sejak kecil, seperti melalui senam satu hari sewaktu di TK dan SD. Apabila sejak kecil dibuat senang olahraga, dan didorong melalui banyaknya fasilitas olahraga di sekitar rumah, katanya, maka otot-otot akan lebih sensitif terhadap insulin.

Menurut dia, rekayasa sosial selanjutnya adalah mengampanyekan tentang naik kendaraan umum. Dia menilai, jika kendaraan umum dibuat lebih nyaman, lebih banyak orang senang naik kendaraan umum, dan lebih banyak orang-orang yang melangkah. “Yang berikutnya, pemerintah juga harusnya mewajibkan makanan-makanan kemasan dari industri-industri resmi, itu semuanya ada fakta kalorinya. Sehingga orang bisa milih, oh ini kalorinya kebanyakan untuk saya, oh ini kalorinya nggak cukup untuk saya, oh ini nggak cocok untuk saya,” katanya.

Dia melanjutkan perlunya mengampanyekan soal makanan, seperti makan tak perlu harus dengan nasi. Menurut data, negara-negara Asia Selatan yang bahan makanan pokoknya nasi, risiko kencing manisnya lebih tinggi. Oleh karena itu, sumber karbohidrat tak perlu nasi, katanya, bisa seperti jagung, kentang, dan labu, yang bisa divariasikan.

Kemudian, kata Tri, membiasakan minum kopi tanpa gula atau susu kental manis. Dia juga menyebut pentingnya seleksi iklan produk makanan yang ditampilkan di ruang publik, karena beberapa menyesatkan. Selain itu, katanya, media sosial perlu dikontrol agar tidak ada hoaks yang beredar, sebagai upaya melindungi masyarakat. Tri juga menyebut perlunya upaya untuk meningkatkan jumlah penduduk dengan pendidikan tinggi, karena semakin tinggi pendidikan, akan lebih mudah diedukasi untuk hidup yang lebih sehat. (RN)

× Hubungi kami!