Mengenal Penyakit Kulit Dermatitis Atopik

Artikel ini telah direview oleh
Penyakit Kulit Dermatitis Atopik
Foto: herminahospital.com

Penyakit kulit Dermatitis Atopik adalah penyakit kulit kronis yang menimbulkan peradangan di kulit, berupa gatal yang jika terjadi terlalu lama dapat menimbulkan kulit kering serta pecah-pecah, bersisik, luka dan menebal hingga kehitaman. “Atopik dermatitis merupakan penyakit kulit yang sering kambuh terutama pada bayi atau anak. Penyebabnya belum jelas dan banyak faktor yang mempengaruhinya,” kata dr Anna Juniawati Putri Gunawan SpKK.

Penyakit yang dikenal luas dengan istilah eksim tersebut bisa menimbulkan gatal parah yang bisa mengganggu aktivitas. Karena termasuk penyakit kronis, pengidap dermatitis atopik tak akan pernah bisa sembuh, bahkan bisa kambuh jika ada pemicu.

Pemicu dermatitis atopik berbeda-beda pada setiap orang, misalnya daya tahan tubuh yang menurun, debu, bulu binatang, cuaca panas atau dingin, gigitan serangga, zat tertentu, dan stres. Dermatitis atopik diderita seumur hidup, oleh sebab itu pengobatan tak bertujuan untuk memusnahkan penyakit. “Tapi mengatasi gejala yang timbul saat kambuh,” kata dr Anna.

Selain itu, untuk menghindari munculnya penyakit ini diperlukan upaya menjaga kebersihan kulit, menghindari faktor pemicu, menjaga kelembapan kulit. “Pelembap yang digunakan harus mengandung bahan yang identik dengan lipid penyusun skin, barrier seperti ceramide, cholesterol dan fatty acid. Kandungan yang dapat menyusun kembali struktur pelindung sementara pada kulit dan merangsang tingkat produksi ceramide dengan sendirinya,” kata dr Anna.

Pengobatan akan bergantung pada gejala dan kondisi pasien. Beberapa jenis pengobatan yang umum digunakan adalah obat oles, obat oral, dan phototherapy.

Anak berisiko

Sebuah studi menyebut defisiensi atau kekurangan vitamin D dapat meningkatkan risiko anak terkena penyakit eksim atau yang lebih dikenal dengan dermatitis atopik. Meski umumnya dimulai pada masa kanak-kanak, penyakit tersebut juga dapat dialami oleh segala usia.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Organisasi Alergi Dunia (World Allergy Organization) menyebutkan, terdapat korelasi antara kadar vitamin D dengan sensitisasi alergen. Sensitisasi alergen dapat terjadi jika tubuh mengembangkan antibodi lgE terhadap alergen yang tertelan, diserap, atau terhirup.

Para peneliti dari Universitas Chang Gung di Taiwan yang terlibat dalam penelitian mengatakan studi tersebut juga melihat adanya kemungkinan berkembangnya eksim pada anak-anak. Menurut mereka kekurangan vitamin D sangat berpengaruh terhadap meningkatnya prevalensi sensitisasi alergen, yang berpotensi meningkatkan kerentanan eksim pada anak usia dini. Kekurangan vitamin D diketahui menurunkan kekuatan tulang dan meningkatkan risiko patah tulang dan infeksi.

Baca juga:  Tips Alami Efektif Hilangkan Ketombe

Penelitian ini melibatkan total 222 anak, termasuk mereka yang menderita eksim dan anak-anak sehat dengan usia yang sama tanpa kondisi tersebut atau penyakit alergi lainnya. Pesertanya terdiri atas tiga kelompok umur yakni enam bulan, dua tahun, dan empat tahun. Di antara anak-anak berusia enam bulan, 59 menderita eksim, dan 36 sehat.

Pada kelompok anak usia dua tahun, 37 anak menderita eksim, 29 anak sehat, sedangkan 32 anak menderita dermatitis atopik, dan 29 anak sehat pada kelompok usia empat tahun. “Sampel serum seluruh peserta dikumpulkan dan diuji vitamin D, kadar IgE total, dan kadar IgE spesifik alergen. Berdasarkan kadar vitamin D-nya, anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok: kelompok yang kurang dari 20 ng/ml, kelompok antara 20 ng/ml hingga 30 ng/ml, dan kelompok yang lebih besar dari 30 ng/ml,” kata mereka.

Kemudian di antara anak-anak berusia enam bulan dan 4 tahun, anak-anak dengan kadar vitamin D kurang dari 20 ng/ml mempunyai lebih banyak pemberian ASI eksklusif dan atopi ibu dibandingkan anak-anak dengan kadar vitamin D lebih dari 30 ng/ml.

Atopi mengacu pada kecenderungan genetik untuk mengembangkan penyakit alergi termasuk rinitis alergi, asma, dan eksim. Anak-anak dengan eksim memiliki kadar vitamin D yang lebih rendah pada usia 2 dan 4 tahun. Namun, suplementasi vitamin D lebih banyak ditemukan pada anak-anak penderita eksim pada usia enam bulan dibandingkan dengan anak-anak sehat pada usia yang sama.

Para peneliti juga mencatat bahwa sensitivitas alergen makanan lebih tinggi pada anak-anak dengan eksim pada usia 0,5 dan 4 tahun, sedangkan sensitivitas tungau dan IgE lebih tinggi pada usia 2 dan 4 tahun.

“Alergi makanan dan atopi ibu diidentifikasi sebagai faktor risiko terbesar terjadinya eksim pada anak usia 6 bulan. Namun, pada anak usia 2 dan 4 tahun, faktor risiko utamanya adalah kadar vitamin D dan sensitisasi alergi tungau,” ujar peneliti.

Gaya hidup

Sejatinya, dermatitis atopik atau eksim adalah masalah kulit yang bisa menyerang siapa saja, terlepas dari usia maupun gaya hidupnya. Menurut Dr. Sushil Tahiliani, MD, DV&D, konsultan dermatologi di Rumah Sakit Hinduja dan Pusat Penelitian Medis di Mumbai, India, tiga sampai empat persen individu dengan dermatitis atopik tidak menyadari kondisi mereka dan opsi penanganan yang tersedia. “Sungguh menyedihkan melihat begitu banyak orang yang kebutuhannya tidak terpenuhi dalam mengelola penyakit ini,” katanya. Ia mengemukakan bahwa saat ini sudah ada terapi terarah yang menawarkan perbaikan kondisi kulit dan kualitas hidup bagi mereka yang menghadapi tantangan karena dermatitis atopik.

Baca juga:  Mau Hidup Berdampingan Dengan Prostat? Lakukan Deteksi Dini 

Berikut beberapa mitos dan fakta tentang dermatitis atopik yang menurut dokter Tahiliani perlu untuk dipahami untuk mengefektifkan penanganan masalah kulit tersebut.

  1. Mitos bahwa dermatitis atopik menular

    Faktanya dermatitis atopik adalah kondisi genetik dan tidak menular. Kontak dengan seseorang yang didiagnosis dengan dermatitis atopik tidak akan menyebabkan penularan. Masalah kulit ini terjadi karena sistem kekebalan tubuh terlalu aktif, yang menyebabkan kulit menjadi gatal dan kering. Faktor lingkungan kemudian dapat memicu kekambuhan atau memperburuk gejalanya.

  1. Mitos bahwa anak bisa sembuh dari dermatitis atopik

    Faktanya meskipun beberapa anak mengalami gejala perbaikan kondisi seiring bertambahnya usia, tidak semua kasus dermatitis atopik bisa sembuh saat dewasa. Namun, penting untuk memprioritaskan perawatan kulit dan menerapkan tindakan pencegahan untuk minimalkan kekambuhan. Mencari saran medis untuk gejala yang terus-menerus sangat penting, karena kebiasaan perawatan kulit yang sehat berperan penting dalam mengelola dermatitis atopik secara efektif.

  1. Mitos bahwa semua orang punya pemicu dermatitis atopik yang sama

    Penyebab dermatitis atopik kambuh dapat sangat bervariasi dari orang ke orang, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sensitivitas kulit dan tingkat stres masing-masing individu. Mencari diagnosis profesional dan rencana perawatan yang dipersonalisasi sangat penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi pemicu tertentu eksim secara efektif.

  1. Mitos bahwa dermatitis atopik hanya masalah kulit

    Faktanya dermatitis atopik bukan hanya masalah kulit, tapi kondisi yang memengaruhi kesehatan secara keseluruhan. Rasa gatal dan tidak nyaman yang terus-menerus akibat dermatitis atopik dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penderita dermatitis atopik lebih mungkin mengalami masalah kesehatan lain seperti obesitas, penyakit jantung, dan diabetes.

  1. Mitos bahwa pengobatan rumahan dapat menyembuhkan dermatitis atopik

    Seperti kondisi kronis lainnya, dermatitis atopik memerlukan penilaian medis menyeluruh dan pengobatan jangka panjang yang tepat. Pengobatan rumahan dapat melengkapi pengobatan yang diresepkan, tetapi tidak boleh diandalkan sebagai satu-satunya solusi. Menjalani pemeriksaan rutin dan mengikuti saran dokter adalah kunci untuk mengendalikan kondisi tersebut dalam jangka panjang. (RN)