Perlunya Deteksi Dini Kanker Ovarium

Artikel ini telah direview oleh

Perlunya Deteksi Dini Kanker Ovarium

(Foto: Perlunya Deteksi Dini Kanker Ovarium)

Faktanya, kanker ovarium masih menjadi penyebab kematian tertinggi dari seluruh kanker ginekolog. Hal tersebut dikatakan dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi, Konsultan Onkologi dr. Muhammad Yusuf, Sp. OG (K) Onk.

Indonesia berdasarkan data World Cancer Research Fund masuk dalam 10 negara dengan jumlah kasus kanker ovarium tertinggi di dunia dengan 15.130 kasus baru setiap tahun.

“Mayoritas pasien kanker ovarium baru terdiagnosis pada stadium tiga atau empat akibat gejala awal yang tidak spesifik, sehingga penanganan medis umumnya sudah memerlukan tindakan operasi atau kemoterapi,” ujar Yusuf.

Kondisi ini pun perlu perhatian berbagai stakeholders untuk meningkatkan pemahaman terhadap ancaman penyakit untuk menekan laju pertumbuhan kasus. Dokter yang juga anggota dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) itu menambahkan bahwa risiko kambuh penyakit ini meskipun kemoterapi awal telah dilakukan terbilang sangat tinggi bahkan mencapai 70 persen dalam tiga tahun pertama.

Pada kanker ovarium stadium lanjut, pasien umum harus menjalani operasi besar untuk mengangkat satu atau kedua ovarium, tuba falopi, rahim serta semua jaringan kanker yang terlihat. Kemudian tindakan pascaoperasi, pasien masih perlu menjalankan kemoterapi untuk membunuh sel kanker yang tersisa.

Setelah kemoterapi awal dan memasuki fase remisi, menjaga pasien agar terhindar dari kekambuhan penyakit menjadi upaya yang penting untuk mempertahankan kualitas hidup. Namun, pada kanker ovarium stadium lanjut, kekambuhan tetapi tinggi setelah pengobatan lini pertama sehingga pasien harus menjalankan kemoterapi ulang, yang kerap disertasi periode remisi (masa bebas kanker) yang lebih singkat dan adanya peningkatan risiko kematian.

Bahkan, beberapa kasus terapi target bisa diberikan setelah kemoterapi dan tergantung pada hasil pemeriksaan dokter.

“Menjalani perawatan yang terpersonalisasi usai menjalankan operasi dan kemoterapi merupakan langkah yang tepat. Antisipasi terhadap kekambuhan memberikan peluang hidup yang lebuh baik bagi pasien,” ujar Direktur Medis Astrazeneca Indonesia dr. Freddy.

Baca juga:  Kenali 5 Jenis Kanker Payudara Sebelum Terlambat

Dokter Spesialis Onkologi dari RSUP Persahabatan dr. Oni Khonsa, Sp.OG, Subsp. Onk mengatakan penyakit kanker tidak bisa disembuh namun dapat dikendalikan. “Kalau kanker itu definisinya bukan sembuh, dia sama seperti asma, hipertensi, diabetes, ada kekambuhan bila tidak dikontrol, jadi pengobatan ini biar lebih terkontrol,” ujar dr. Oni.

Lebih lanjut, dr. Oni mengatakan kanker bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan layaknya tuberkulosis (TB). Kanker sendiri memiliki banyak jenis hingga tingkat keparahan yang berbeda.

Menurut dr. Oni, kambuh atau tidaknya sel kanker sangat ditentukan dari pengobatan, terapi dan juga gaya hidup pasiennya.

“Sesering apa kambuhnya? Itu sangat erat dengan stadium, jenis kankernya dan kondisi-kondisi lain penyerta pasien, bagaimana membuat pola hidup yang baik,” ujar dr. Oni.

Sementara itu, dr. Oni juga mengatakan bahwa kista tidak selalu menjadi cikal bakal dari kanker. Hanya kista endrometrium saja yang bisa berkembang menjadi kanker. Meski demikian, pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui ganas atau tidaknya jenis kista tersebut. “Mengarah ke ganas atau tidak dilihat dari tes, kista yang diduga jinak bisa berubah sifatnya. Ini bisa bertransformasi karena ada paparan karsinogen seperti dari zat kimia, rokok, vape,” kata dr. Oni.

“Kalau ternyata waktu diperiksa kistanya masih eksis, terutama endrometrium maka hindari potensi karsinogen. Kista harus diambil dan dilihat jinak atau enggak tapi kalau enggak diambil harus dipantau terus,” lanjutnya.

Mendeteksi dini keberadaan kanker ovarium dengan mengenal enam faktor risiko dan empat gejala dapat membantu pasien mendapat penanganan yang tepat dan mengurangi angka kematian, kata Dokter Spesialis Onkologi – dr. Oni Khonsa, Sp.OG, Subsp. Onk dari RSUP Persahatan.

“Kebanyakan datang terlambat, angka yang datang lebih awal itu jauh lebih dibanding dengan yang telat. Penting untuk tahu tentang 10 faktor risiko dan gejala,” ujar dr. Oni.

Baca juga:  Wasting Masalah Gizi Buruk Lain Pada Anak, Selain Stunting

Terdapat enam faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang terkena kanker ovarium yakni memiliki riwayat kista endometrium, keturunan keluarga dengan kanker ovarium atau payudara, mutasi genetik, jumlah persalinan rendah, gaya hidup yang buruk dan pertambahan usia.

Dari keenam faktor tersebut ditambah lagi dengan empat tanda atau gejala seperti perut kembung, nafsu makan berkurang, sering buat air kecil dan nyeri panggul atau perut. Namun, kanker ovarium tidak disertai gejala pada stadium awal.

“Kalau kita sudah punya salah satu dari enam faktor risikonya, terus ditambah ada gejala perut kembung, mungkin diare, harus periksa meskipun tidak semua gejala itu pada akhirnya kanker ovarium,” kata dr. Oni.

Lebih lanjut, dr. Oni mengatakan penting untuk mewaspadai setiap tanda dan gejala. Sebab, kanker ovarium tidak seperti kanker serviks yang dapat terdeteksi melalui pemeriksaan papsmear. Kanker ovarium juga tidak hanya diderita oleh perempuan yang sudah mengalami menopause. Anak muda pun memiliki peluang yang sama khususnya jika terdapat keluarga dekat dengan riwayat kanker.

“Kalau enggak ada tanda bukan berarti enggak melakukan pemeriksaan, yang muda belum tentu aman. Ketiga ada kolega sedarah, kita harus waspada tapi bukan hanya kanker ovarium tapi juga kanker payudara, itu satu geng,” katanya.

Oni mengatakan minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat mengenai kanker ovarium sangat memprihatinkan. Padahal jika dideteksi lebih awal, kanker ovarium dapat ditangani dan 94 persen pasiennya dapat hidup lebih dari 5 tahun setelah didiagnosis. Menurut dr. Oni, saat kanker ovarium masih berada di stadium awal, di mana kanker masih terbatas di ovarium maka penanganan dan pengobatan memiliki kemungkinan besar untuk berhasil.

“Di Indonesia itu kalau enggak mau periksa karena takut ketahuan, padahal memang periksaan itu biar ketahuan. Kalau memeriksa sejak awak dampak-dampaknya juga akan rendah,” ujar dr. Oni. (RN)