Usia Muda Bisa Alami Gangguan Irama Jantung

Artikel ini telah direview oleh
Usia Muda Bisa Alami Gangguan Irama Jantung
Foto: cvskl.com (Usia Muda Bisa Alami Gangguan Irama Jantung)

Gangguan irama jantung yang ditandai dengan detak terlalu cepat atau disebut juga Supraventricular Tachycardia (SVT) tak hanya bisa dialami kalangan lanjut usia, bahkan kalangan muda dengan dampak yang mengancam jiwa.

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis aritmia dari RS Siloam TB Simatupang, dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA, menjelaskan bahwa SVT jika dibiarkan dapat mengakibatkan gagal jantung, stroke, hingga kematian.

“Secara umum, aritmia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: irama jantung yang lebih cepat dari normal (tachycardia), lebih lambat dari normal (bradycardia), dan irama yang tidak beraturan (flutter),” kata dr Dony.

Dokter Dony memaparkan, cara mengukur detak jantung dapat dilakukan dengan meletakkan jari di nadi pergelangan tangan. Hitung denyut selama 15 detik, lalu kalikan hasilnya dengan empat untuk memperoleh jumlah denyut jantung dalam satu menit.

Adapun kisaran detak jantung normal ketika tubuh beristirahat yakni, 100-160 bpm (beats per minute) untuk bayi baru lahir, 90-150 bpm (bayi 0-5 bulan), 80-140 bpm (bayi 6-12 bulan), 80-130 bpm (anak 1-3 tahun), 80-120 bpm (anak 3-4 tahun), 70-110 bpm (anak 6-10 tahun), 60-100 bpm (remaja ≥15 tahun), 95-170 bpm (20-35 tahun), 85-155 bpm (35-50 tahun) dan 80-130 bpm (≥60 tahun).

Penyebab SVT

Dia menjelaskan, SVT ditandai dengan detak jantung yang sangat cepat, lebih dari 150 denyut per menit yang bisa membuat penderita merasakan jantung berdebar kencang. “Meskipun jantung berdebar saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik adalah hal yang normal, detak jantung yang cepat secara tiba-tiba saat sedang beristirahat atau duduk tenang harus diwaspadai,” kata dia.

SVT dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah proses degeneratif akibat penuaan yang menyebabkan perubahan struktur jantung. Dijelaskan, beberapa pasien SVT hanya merasakan ketidaknyamanan di dada, tanpa menyadari bahwa detak jantung meningkat drastis, bahkan saat tubuh sedang beristirahat.

Gangguan irama ini sering kali berlangsung singkat, lanjut dr Dony, antara 2 hingga 3 jam dan menghilang secara spontan. Selama insiden berlangsung, pasien mungkin ingin muntah atau batuk.

Jika SVT tidak segera ditangani, ada tiga potensi komplikasi serius yang dapat terjadi. Pertama, denyut jantung bisa meningkat secara ekstrem hingga menyebabkan pingsan.

Baca juga:  Astaga... Jangan Abaikan Keselamatan Anak di Mobil

Kedua, pada kasus kelainan irama jantung bawaan tertentu, denyut jantung dapat melonjak hingga 300 bpm yang sangat berbahaya karena memicu kematian mendadak.

Ketiga, gangguan irama dalam jangka panjang dapat menimbulkan risiko gangguan irama lain yang lebih kompleks, yaitu atrial fibrillation (AF) dengan risiko gagal jantung dan stroke.

Untuk mencegah komplikasi, SVT dapat ditangani melalui prosedur medis yang disebut ablasi, yang bertujuan mengatasi jalur listrik abnormal di jantung secara permanen.

Prosedur ablasi

SVT terjadi akibat adanya generator atau jalur listrik tambahan di jantung yang memicu gangguan irama. Untuk mengatasi hal ini, dokter dapat melakukan prosedur ablasi, yaitu dengan mencari dan menonaktifkan jaringan listrik berlebih tersebut. Proses itu dilakukan dengan pemanasan menggunakan energi frekuensi radio (radio-frequency/RF) untuk menghentikan aktivitas listrik abnormal di area yang bermasalah.

dr Dony menjelaskan, prosedur ablasi memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dalam mengatasi SVT, yakni sekitar 90-95 persen.

“Pasien yang dapat menjalani prosedur ablasi bervariasi, mulai dari anak-anak hingga lansia. Di RS Siloam TB Simatupang, prosedur ablasi bisa dilakukan pada anak berusia 5 tahun hingga pasien berusia lebih dari 70 tahun,” jelasnya.

Ablasi bukanlah operasi dengan pembelahan dada (torakotomi) melainkan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pangkal paha. Kateter akan melewati pembuluh darah besar menuju jantung. Dalam prosedur ini, dokter akan menghancurkan bagian kecil jaringan jantung yang menjadi sumber gangguan listrik.

Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah jika lokasi jaringan yang perlu dihancurkan berada terlalu dekat dengan jalur utama sistem listrik jantung. Bila jalur utama ini terkena panas saat proses ablasi, fungsi penghantar listrik jantung bisa terganggu. Jika hal itu terjadi, dokter mungkin perlu memasang alat pacu jantung di bawah kulit untuk membantu mengatur detak jantung secara normal.

Selain itu, area pangkal paha yang dimasukkan kateter berisiko mengalami bengkak usai ablasi. “Prosedur ablasi menggunakan teknologi pemetaan jantung dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Meskipun sebagian besar prosedur menggunakan pemetaan 2D, pemetaan 3D menawarkan detail yang lebih mendalam, sehingga memungkinkan tindakan yang lebih akurat,” katanya lagi.

Baca juga:  Pahami Menopause Sebelum Terjadi

“Teknologi 3D ini umumnya digunakan untuk kasus-kasus yang lebih kompleks. Saat ini, RS Siloam TB Simatupang telah dilengkapi dengan peralatan terbaru tiga dimensi untuk melaksanakan prosedur ablasi tersebut,” tutup dr Dony.

Dialami perempuan

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah lulusan Universitas Indonesia dr. Sunu Budhi Raharjo, PhD, Sp.JP(K), mengatakan wanita memiliki risiko mengalami masalah irama jantung atau aritmia lebih banyak dibandingkan laki-laki dan bisa menyerang di usia berapapun.

“Gejalanya sempoyongan, kadang-kadang pingsan, tapi, bangun lagi. Kalau nggak bangun, dia henti jantung,” kata Sunu.

Dia mengatakan, masalah irama jantung atau aritmia biasanya ditandai dengan gejala jantung berdebar tanpa alasan dan dalam keadaan tubuh tidak sedang beraktivitas. Seringkali jantung berdebar lebih cepat saat akan tidur.

Pada kasus aritmia yang lebih parah, pasien bisa pingsan atau kolaps. Penanganan harus segera dilakukan dengan pompa jantung yang adekuat. Aritmia juga bisa membuat pasien kejang karena otot jantung mengalami kram. Pasien akan pingsan karena tidak mendapat suplai darah dari jantung ke organ otak.

Aritmia dengan serangan, kata Sunu, bisa terjadi baik pada usia muda maupun tua. Hal itu terjadi karena aritmia bisa datang mendadak tanpa dipengaruhi dari faktor degeneratif atau pertambahan usia. “Ibarat pohon muncul benalu, kan, bukan dari pohon itu tumbuh ada benalu. Itu yang tidak dipengaruhi dari faktor degeneratif, beda dengan serangan jantung aorta itu banyak karena hipertensi lama, diabetes lama, kolesterol tinggi dan paling sering adalah rokok,” kata Sunu menjelaskan.

Sunu juga menambahkan aritmia yang sering terjadi pada wanita juga bisa menyebabkan serangan jantung yang berujung pada henti jantung. Penanganan pada periode emas harus segera dilakukan untuk menghindari terjadi henti jantung.

“Kalau serangan jantung itu diawali dengan nyeri dada, keringat dingin yang luar biasa, sesak, itu serangan jantung. Pnanganannya harus segera dibawa ke rumah sakit,” kata Sunu menambahkan. (RN)