Gejala Kanker Kolorektal Bisa Jadi Pendarahan rektal

Artikel ini telah direview oleh

Gejala Kanker Kolorektal Bisa Jadi Pendarahan rektal
(Foto: Gejala Kanker Kolorektal Bisa Jadi Pendarahan rektal)

Pendarahan rektal menjadi salah satu gejala kanker kolorektal stadium awal. Dikutip dari Health, penyebab lain dari pendarahan rektal adalah berkaitan dengan pola makan, buang air besar keras, wasir hingga tukak lambung. Namun demikian, hal tersebut sebaiknya dievaluasi di rumah sakit untuk memastikan kondisi pasien.

“Jika tidak diselidiki dan tidak dievaluasi di rumah sakit, hal itu dapat mengancam jiwa,” ujar asisten Profesor Kedokteran Divisi Gastroenterologi Fakultas Kedokteran Universitas Duke Jatim Roger, MD.

Adapun pendarahan rektal bisa muncul di dalam tinja, toilet, atau tisu toilet dengan warna merah terang yang menjadi tanda pendarahan di saluran cerna bagian bawah, atau berwarna hitam yang menjadi ada pendarahan di saluran cerna bagian atas. Pendarahan akibat kanker bersifat persisten, pasien yang melakukan perawatan ambeien selama satu hingga dua bulan atau lebih lama juga menjadi salah satu tanda bahaya.

Skrinning rutin mulai usia 45 tahun menjadi hal yang penting dilakukan untuk memastikan kondisi. Bila mengalami pendarahan rektal, Ahli Bedah Kolorektal Cedars-Sinai Cameron di Los Angeles, AS menyarankan untuk melakukan pemeriksaan secara medis.

Adapun bagi masyarakat yang berusia di atas 40 tahun yang memiliki beberapa tanda-tanda berikut sebaiknya menemui dokter, yakni sakit perut, perubahan warna tinja, ketidakmampuan mengendalikan keinginan buang air besar, tekanan darah rendah, nyeri saat buang air besar hingga penurunan berat badan yang tak disengaja.

Kanker kolorektal yang mencakup kanker usus besar dan rektum, dulu sering dikaitkan dengan usia lanjut, namun dalam beberapa tahun terakhir, tren ini mulai bergeser.

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, kasus kanker kolorektal pada usia muda meningkat. Bahkan, bukan hal langka bila penyakit ini menyerang individu yang baru memasuki usia 20-an atau 30-an. Hal ini menimbulkan kekhawatiran baru, mengingat generasi muda cenderung belum menganggap serius penyakit ini. Banyak yang merasa masih terlalu dini untuk memikirkan kanker, apalagi kanker usus besar.

Baca juga:  Ini Resep Bahagia Versi Peneliti Harvard

Padahal, gaya hidup modern yang tinggi lemak, rendah serat, penuh stres, dan minim aktivitas fisik turut menjadi faktor pendorong utama kemunculan kanker ini di usia muda.

Berikut lima hal penting yang perlu diketahui tentang kanker kolorektal, mulai dari statistik kasus, penyebab, gejala, hingga pentingnya deteksi dini. Konsultan Senior bidang Onkologi Medis dari Parkway Cancer Centre, Singapura Dr. Zee Ying Kiat memberikan panduan langsung sebagai berikut,

Pertama, angka penderita di usia muda terus meningkat. Berdasarkan data Global Cancer Observatory (Globocan) 2020, kanker ini menempati peringkat keempat jenis kanker terbanyak di Indonesia, dengan 34.189 kasus baru tercatat pada tahun tersebut.

Meskipun selama ini kanker kolorektal lebih banyak menyerang individu berusia di atas 50 tahun, tren terkini menunjukkan bahwa penyakit ini juga semakin banyak ditemukan pada kelompok usia lebih muda.

Data International Agency for Research on Cancer (IARC) mencatat bahwa pada tahun 2022, dari sekitar 25.000 kasus kanker kolorektal di Indonesia, sekitar 1.400 pasien berusia di bawah 40 tahun, termasuk 446 kasus pada rentang usia 20 hingga 29 tahun. Dengan kata lain, sekitar satu dari dua puluh pasien kanker kolorektal di Indonesia saat ini adalah generasi muda. Temuan ini menegaskan bahwa anggapan lama bahwa kanker usus besar hanya menyerang orang tua sudah tidak lagi relevan. “Kanker kolorektal tidak lagi bisa dianggap sebagai penyakit orang tua. Generasi muda kini juga rentan, dan ini harus menjadi perhatian kita bersama,” ujar Dr. Zee.

Kedua, gaya hidup modern berperan besar picu munculnya penyakit ini. Faktor genetik memang berperan cukup besar munculnya kanker kolorektal di kalangan generasi muda, tetapi perubahan pola hidup masa kini menjadi pemicu utama peningkatan kasus di usia muda.

Pola makan tinggi lemak dan rendah serat, kurangnya aktivitas fisik, konsumsi makanan ultra-proses dan olahan, kebiasaan merokok, serta konsumsi alkohol menjadi kombinasi yang diyakini mempercepat proses peradangan dalam saluran cerna, yang dalam jangka panjang dapat memicu pertumbuhan sel abnormal.

Baca juga:  Ini 10 Hal yang Terjadi Saat Kita Mengurangi Gula

Ketiga, gejalanya sering diabaikan. Menurut Dr. Zee, kanker kolorektal berkembang dari polip, pertumbuhan kecil yang awalnya jinak di lapisan usus besar atau rectum yang dapat berubah menjadi kanker seiring waktu. Tantangan utamanya adalah bahwa gejala awal sering kali tidak spesifik, bahkan tak sedikit pasien kanker yang terdiagnosis tanpa gejala apapun.

Beberapa gejala berikut bisa menjadi gejala awal yang tidak boleh diabaikan, seperti perubahan pola buang air besar baik konstipasi maupun diare yang berkepanjangan, terdapat darah dalam feses, rasa nyeri yang membuat perut terasa tidak nyaman, atau penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.

“Gejala-gejala tersebut memang tidak otomatis berarti kanker tapi jika terus berulang maka jangan abaikan segera lakukan pemeriksaan ke dokter,” tuturnya.

Keempat, pentingnya deteksi dini. Kolonoskopi menjadi standar utama untuk deteksi kanker kolorektal. Di AS, usia skrining kini diturunkan dari 50 menjadi 45 tahun karena meningkatnya kasus pada usia muda. Jika dilakukan saat masih sehat, kolonoskopi bukan hanya mendeteksi kanker, tetapi juga bisa langsung mengangkat polip atau jaringan abnormal sebelum berkembang menjadi kanker.

Kelima, penanganan yang terintegrasi bisa tingkatkan harapan hidup. Penanganan kanker kolorektal tidak bisa hanya bergantung pada satu spesialis. Dokter bedah, onkolog, ahli patologi, radiolog, hingga ahli gizi dan konselor harus bekerja bersama merancang strategi yang sesuai untuk setiap pasien.

Operasi tetap menjadi langkah utama, khususnya untuk mengangkat bagian usus yang terdampak. Namun karena sel kanker bisa tersebar dalam ukuran mikroskopik, pasien sering kali tetap membutuhkan kemoterapi setelah operasi. Bisa juga dilanjutkan dengan radioterapi, atau terapi target tergantung pada stadium penyakit dan karakteristik tumor. (RN)