
Gangguan pendengaran kerap terjadi pada anak. Ternyata, salah satu penyebabnya adalah otitis media efusi.
Menurut dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorok serta bedah kepala dan leher dr. Indah Trisnawaty, Sp.THT-KL, otitis media atau infeksi telinga tengah adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Setelah infeksi hilang, lendir dan cairan yang muncul berpotensi menumpuk di telinga tengah. Kondisi yang disebut otitis media efusi ini bisa mengganggu fungsi pendengaran.
“Amandel mulut dan belakang hidung atau yang kita sebut adenoid itu posisinya ada di antara saluran telinga dengan tenggorok. Jadi kalau itu tertutup, cairan yang dihasilkan di telinga tengah itu engak bisa keluar, jadi numpuk di situ,” katanya.
“Ketika ada cairan di dalam ruangan itu, tentunya suara itu akan terhalang. Jadi bisa bikin gangguan dengar,” ia menambahkan.
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu menyampaikan bahwa otitis media efusi bisa muncul setelah anak batuk dan pilek. “Otitis media efusi itu, kalau misalnya kita habis batuk pilek, nah, habis batuk pilek, masih belum bagus tuh salurannya, akhirnya cairannya ngumpul di situ,” katanya.
“Jadi, masalahnya telinga tengah, yang (karena) cairan itu adalah fungsi tubanya itu enggak bagus, saluran antara telinga dan tenggorok, entah karena rhinitis alergi atau karena infeksi telinga tengah berulang,” jelasnya.
Selain karena masalah pada telinga tengah, dokter Indah menjelaskan, gangguan pendengaran juga dapat disebabkan oleh masalah pada bagian telinga luar dan telinga dalam. “Kalau untuk yang telinga luar itu adalah kotoran telinga, serumen. Penyakit yang lain, misalnya infeksi telinga luar, biasanya telinganya lebih sempit, kemerahan, keluar cairan,” terangnya.
Sementara masalah telinga dalam, menurut dia, bisa muncul karena bawaan lahir. Dia menyampaikan bahwa infeksi virus juga bisa menjadi pemicu gangguan pendengaran pada anak.
“Ada juga yang bisa didapat, misalnya habis sakit gondongan. Kalau ada demam, gondongan itu yang paling sering infeksi virus, yang paling sering menyebabkan gangguan dengar,” katanya.
Batuk dan pilek
Anggota Perhimpunan Ahli Ilmu Penyakit THT Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI KL), Dr. dr. Semiramis Zizlavsky, Sp.THT-BKL(K) mengatakan anak yang kerap batuk dan pilek bisa terkena risiko gangguan pendengaran. “Mungkin anaknya sering mengalami batuk pilek. Sehingga hal ini bisa menyebabkan anak mengalami gangguan pada telinga tengahnya,” jelas Semiramis.
Lebih lanjut, Semiramis memaparkan beberapa faktor risiko sehingga dapat mencegah anak-anaknya mengalami gangguan pendengaran. Untuk anak berusia 0 hingga 29 hari, faktor risikonya meliputi riwayat keluarga, infeksi Torsch, prematur, berat badan lahir rendah, bilirubin tinggi, Apgar skor rendah, dan obat-obatan.
Pada bayi usia 29 hari hingga 2 tahun, faktor risikonya meliputi infeksi Torsch, meningitis bakterialis, sindrom, dan infeksi telinga tengah berulang. “Dengan satu faktor risiko saja, kemungkinan ada gangguan pendengaran itu sebesar 10,3 kali lipat. Kalau mengalami tiga faktor tersebut, itu 63 kali lipat kemungkinannya menjadi gangguan pendengaran,” jelas Semiramis.
Oleh sebab itu, Semiramis mengingatkan orang tua agar tak menyepelekan batuk pilek pada anak. Sebab jika ada cairan di telinga tengah bisa berisiko mengalami gangguan pendengaran. Kemudian untuk pencegahan, Semiramis juga mengimbau agar jangan membersihkan telinga terlalu dalam, tidak menggunakan earphone dengan volume terlalu keras dan waktu yang lama. Terakhir, agar memakai pelindung telinga pada daerah yang bising.
Terlihat sebelum usia 6 bulan
Dokter spesialis ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan, bedah kepala dan leher RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr.dr., Ronny Suwento, Sp.THTBKL, Subsp.K(K) menyatakan tanda-tanda anak terkena gangguan pendengaran sudah dapat terlihat sebelum anak berusia enam bulan.
“Sebelum anak berusia enam bulan juga bisa (terlihat). Logikanya kalau bayi lagi asyik ngedot atau bermain tiba-tiba ada suara keras, harusnya dia kaget atau berhenti sebentar sambil mikir ini suara apa lalu lanjut lagi, (kalau tidak) itu juga bisa jadi pertanda,” kata Dr.dr., Ronny Suwento.
Ronny menuturkan tanda-tanda gangguan pendengaran pada anak dapat dikatakan tidak mudah untuk dikenali karena berkaitan dengan respon anak menanggapi suatu hal. Terkait hal ini, orang tua dituntut untuk lebih peka dan teliti memantau perkembangan anak baik dari segi motorik, sensorik dan sensitivitasnya.
Ketika bayi di rentang usia tersebut tidak merespon atau menunjukkan wajah datar saat mendengar sebuah suara yang bising, menurutnya orang tua tidak boleh berpikir anak tersebut sedang dalam kondisi tenang. Sebab dikhawatirkan anak tersebut tidak dapat mendengar suara dengan jelas. Adapun tanda lainnya yang patut diwaspadai adalah anak tidak merespon bunyi dengan berkedip, tidak mengerutkan wajah atau menutup mata.
“Kalau punya bayi yang seolah tidur, anteng, padahal kakak-kakaknya lagi main perang-perangan di kolong kasur, itu jangan dibilang anak saya anteng. Kakaknya berisik saja dia tidak terganggu, kecurigaan kecil itu yang harus dijadikan dasar pemikiran selanjutnya untuk melihat respon si bayi,” ucap Ronny.
Maka dari itu, hal yang seharusnya dilakukan orang tua adalah menaruh rasa curiga dan segera mengambil tindakan ke fasilitas kesehatan yang memiliki layanan konsultasi pendengaran, karena berdasarkan ilmu medis bayi dengan pendengaran yang sehat akan langsung menoleh dan mencari sumber arah datangnya suara.
Menurut dia akan lebih baik pemeriksaan atau skrining pendengaran dilakukan 48 jam setelah bayi lahir untuk diperiksa lebih lanjut. Dalam proses pemeriksaan dokter akan melihat berbagai macam faktor penyebab gangguan terjadi. Ronny juga menjelaskan pengambilan tindakan akan disesuaikan dengan tingkat keparahan pendengaran anak. Beberapa tindakan yang ia contohkan seperti pemakaian alat bantu dengar atau implan koklea yang dapat menstimulasi syaraf pendengaran.
Ronny menekankan gangguan pendengaran tidak boleh dianggap remeh sekecil apapun keparahannya. Dikarenakan anak dapat menderita gangguan lainnya seperti kesulitan bicara dan mengikuti aktivitas di sekolah ketika berusia lebih matang. “Kalau dalam hasil 48 jam hasilnya jelek, itu kita sebut positif palsu jadi seakan positif tuli tapi palsu. Nanti kalau pemeriksaan kita ulang lagi saat usia tiga bulan hasilnya bisa positif asli atau jadi ke arah yang lebih baik. Makanya harus dilakukan pemeriksaan dengan alat yang lebih sensitif,” kata dia.
Segera periksakan
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorok – Bedah Kepala dan Leher (PERHATI-KL) Cabang DKI Jakarta Tri Juda Airlangga meminta agar orangtua perlu memeriksakan anak ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorok untuk mengetahui kemungkinan adanya gangguan pendengaran.
Kalau mendeteksi adanya gangguan pendengaran pada anak, maka dokter spesialis akan menyarankan pengobatan atau terapi yang diperlukan untuk mengatasinya.
“Orangtua seringkali tidak menyadari gejala gangguan pendengaran pada anak. Karena mereka menganggap (gangguan pendengaran) suatu yang tidak kelihatan, kalau mata kelihatan nih matanya keruh atau katarak. Kalau pendengarnya kan pada umur 1-6 bulan nangisnya sama, kayaknya enggak apa-apa deh,” katanya.
“Biasanya setelah umur satu atau dua tahun kok anak saya (dibandingkan) sama anak tetangga sebelah, kok dia udah banyak ngomong tapi anak saya belum ya. Itu juga menjadi hal yang pas ketahuan, baru terdeteksi,” katanya.
Dia mengemukakan bahwa gangguan pendengaran akan menimbulkan masalah komunikasi, karenanya penting untuk dideteksi sejak dini. Menurut dia, orangtua bisa memeriksakan bayi ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan sebelum berusia satu bulan untuk mengetahui kemungkinan adanya gangguan pendengaran.
“Sebelum satu bulan sebaiknya sudah ter-skrining, tiga bulan sudah harus terdeteksi, enam bulan harus sudah tertata-laksana, kalau ada gangguan mau diapain nih anaknya,” katanya, menjelaskan penerapan program 1-3-6 dalam penanganan gangguan pendengaran.
Intinya, sambung dia, tumbuh kembangnya harus kita perhatikan juga pada usia-usia dini. Jadi semakin dini kita deteksi, semakin baik intervensi yang bisa dilakukan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada 2030 ada lebih dari 500 juta orang yang mengalami gangguan pendengaran dan membutuhkan rehabilitasi serta lebih dari satu miliar anak muda yang berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat paparan suara keras. (RN)