Waspadai Anak Candu Screen Time

Artikel ini telah direview oleh

Orangtua Waspadai Anak Candu ‘Screen Time’

(Foto: Waspadai Anak Candu Screen Time)

Para orangtua diingatkan agar bisa mengatasi kecanduan screen time yang dialami anak khususnya saat makan agar ke depannya tidak mengalami gangguan pola makan. Hal tersebut dikatakan dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Universitas Indonesia (RS UI) dr. Shofa Nisrina Luthfiyani, Sp.A.

“Yang kita harus lakukan adalah kita memperkenalkan kembali pola lapar dan kenyang pada anak,” kata dokter Shofa. Dalam kasus anak yang kecanduan screen time atau harus terus mengakses layar gadget saat sedang makan, biasanya kebiasaan mengakses gadget terbentuk oleh orangtua yang merasa anak membutuhkan distraksi agar tidak rewel ketika makan.

Namun ternyata kebiasaan akses gadget ini malah membuat pola makan anak menjadi tidak teratur, anak cenderung tidak menyadari rasa lapar, dan justru ketika gadget-nya diambil anak menjadi tantrum.

Maka dari itu, penting mengenalkan kembali pola lapar dan kenyang pada anak sebagai bagian meregulasi ulang pola makannya. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk membentuk pola lapar dan kenyang adalah menyiapkan kembali jadwal makan yang tertata dan harus diikuti oleh anak.

Ketika mengatur ulang jadwal makan, orangtua harus memastikan bahwa dua jam sebelum dan sesudah jadwal ditetapkan anak tidak mengonsumsi hal-hal lain seperti camilan yang dapat mengganggu rasa lapar atau kenyang pada anak.

“Misalnya sarapan anak itu jam delapan pagi gitu ya. Nah paling bagus, dua jam sebelum makan dan dua jam setelahnya anak itu tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan lain selain air putih,” kata dokter Shofa.

Bersamaan dengan itu, orangtua juga harus menghilangkan segala bentuk distraksi saat jadwal makan anak berlangsung. Dalam hal ini distraksi seperti paparan gadget, mainan, atau bahkan hal-hal yang mengganggu pandangan mata harus ditiadakan. Orangtua bisa mengikuti aturan pemberian makan yang dikenal sebagai feeding rules mengikuti anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang membatasi waktu makan anak maksimal 30 menit.

“Idealnya pemberian makan itu kondisinya harus kondusif, enggak boleh ada distraksi. Walaupun memang mau dikasih mainan saat makan itu mainannya enggak boleh yang mendistraksi seperti yang mengeluarkan bunyi, mengeluarkan cahaya lampu begitu ya supaya anaknya tetap fokus makan,” ujarnya.

Kedua kiat ini bisa diterapkan oleh orangtua agar pola makan yang berulang bisa kembali tercipta dan anak kembali merasakan rasa lapar dan rasa kenyang sehingga nantinya kecanduan terhadap gadget saat makan perlahan-lahan bisa dilepaskan.

Baca juga:  Hadapi Pandemi Corona, Penderita Diabetes Harus Tahu Ini

“Jadi memang yang harus dikembalikan adalah rasa lapar dan kenyang pada anak. Karena kalau anaknya kenal rasa lapar, pasti dia mau makan (tanpa harus mengakses gadget). Jadi solusi sebenarnya adalah memperbaiki waktu makannya,” tutup dokter Shofa.

Hambat pertumbuhan

Dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Farid Agung Rahmadi, Msi., Med., Sp.A SubsTKPS(K), mengatakan pemberian screen time atau paparan waktu layar berlebih pada anak berdampak pada tumbuh kembang dan kesehatannya.

“Dampak screen time dari durasi yang berlebihan, konten yang diberikan tidak tepat, tidak adanya pendampingan orang tua dan posisi yang menetap atau tidak berubah posisi selama lebih dari 1 jam. Hal itu memberikan dampak negatif kepada kesehatan dan tumbuh kembang anak,” kata dia.

Dokter yang tergabung di Unit Kerja Koordinasi (UKK) Tumbuh Kembang dan Pediatrik Sosial IDAI itu menyampaikan screen time berlebih memiliki dampak dalam jangka pendek dan panjang pada anak.

“Dampak jangka pendek, selama periode perkembangan kurang dari lima tahun umurnya dan dampak jangka panjang kalau screen time yang berlebih ini terus terjadi bahkan sampai lebih dari lima tahun dampaknya bisa menetap,” ujar dia.

Dalam jangka pendek, screen time berlebih bisa membuat anak terlambat menguasai keterampilan motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus. Anak dengan screen time berlebih, kata Farid, juga akan mengalami keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa hingga gangguan perkembangan kognitif atau kecerdasan.

“Anak menjadi hiperaktif, sulit untuk fokus, agresif, perilaku antisosial atau mudah sekali tantrum, mudah sekali merusak, mudah sekali mengganggu anak lain dan dapat juga terjadi sleeping disorder atau gangguan tidur. Ini semua dampak jangka pendek screen time berlebih,” kata Farid menjelaskan.

Jika screen time berlebih tidak diatasi, maka pada jangka panjang perilaku anak memburuk, misalnya semakin hiperaktif, sulit berkonsentrasi di sekolah sehingga berpengaruh terhadap kemampuan akademik. Farid juga mengatakan dampak panjang dari screen time berlebih pada anak adalah obesitas lantaran dipengaruhi restriksi atau posisi yang tidak berubah selama lebih dari 1 jam sehingga anak sangat kurang aktivitas fisik. Kecenderungan tidak bergerak dalam waktu yang lama juga bisa mendorong anak memiliki diet yang tidak baik dan mengonsumsi makanan yang tidak sehat.

Baca juga:  Memahami Standar Gula Darah Pada Lansia

Screen time berlebih juga membuat waktu tidur anak berkurang sehingga dia bisa mengalami gangguan pola tidur. Sementara itu, tidur sangat penting bagi anak karena sel-sel tumbuh lebih cepat dan hormon pertumbuhan juga banyak keluar saat anak tidur. ​​​​​​​

Paparan sinar biru buatan dari layar elektronik membuat otak menjadi waspada dan terus bekerja sehingga produksi melatonin, hormon yang diperlukan untuk tidur nyenyak, menjadi sedikit.

Paling rentan

Sementara itu, dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Farid Agung Rahmadi Msi., Med., Sp.A SubsTKPS(K) mengemukakan balita berumur kurang dari dua tahun menjadi kelompok paling berisiko terhadap dampak dari screen time (paparan waktu layar).

Farid menjelaskan screen time adalah durasi atau lamanya waktu individu menonton layar elektronik seperti televisi, komputer, laptop atau handphone yang sekarang ini mudah sekali untuk digunakan.

“Pada saat itu otak seorang anak sedang tumbuh dan berkembang hebat karena ada plastisitas otak yang paling hebat di umur itu, ada sinaptogenesis,” kata Farid.

Dokter yang tergabung dengan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Tumbuh Kembang dan Pediatrik Sosial IDAI itu mengatakan bahwa paparan screen time mengurangi kuantitas dan kualitas interaksi anak dengan orang tua sehingga mempengaruhi perilaku bermain bayi.

Pada perilaku bermain bayi, terdapat karakteristik kuantitas dan kualitas. Ketika paparan waktu layar mendominasi, maka durasi episode bermain menjadi lebih pendek.

“Kompleksitas bermain dan fokus perhatiannya menjadi kurang karena tersita sekali dengan adanya screen time. Jadi, pengalaman-pengalaman berinteraksi dengan orang lain menjadi sangat kurang,” ucap Farid.

Ia menyampaikan bahwa jenis dan durasi media yang dikonsumsi anak-anak mengalami perubahan signifikan, pada zaman dulu televisi menjadi media layar utama dengan durasi rata-rata screen time 1 jam 20 menit. Namun, kata Farid, gawai pribadi menggantikan televisi sebagai media dominan dalam kehidupan anak mulai tahun 2011.

Dia mencontohkan tren screen time di Kanada pada 2011, yang berjumlah 39 persen, naik menjadi 80 persen dalam kurun waktu dua tahun ketika anak terpapar gawai pribadi. Durasi paparan layar pun menjadi lebih panjang, dari 1 jam 20 menit menjadi total 4 jam untuk paparan layar dari gawai dan televisi.

“Ketika melatoninnya menjadi sedikit, tidak cukup untuk mengantarkan tidurnya. Efek ini lebih rentan pada anak-anak daripada orang dewasa,” kata Farid. (RN)